Senin, 11 April 2011

JALAN RUHANI

MENUJU JALAN RUHANI YANG HAKIKI
Ajid Thohir, M.Ag


Bismillahirrahmanirrahim
Ilaahi anta maqshudi wa ridlaka mathlubi a’thini mahbbataka wa ma’rifataka

 

Mukaddimah


            Memasuki hakekat dunia ruhani (spiritual) keagamaan, secara umum nampaknya memang cukup sulit dan rumit. Akan tetapi, melalui TQN semua ikhwan diharapkan mampu dan senang untuk terus menapaki jalan yang akan dilaluinya sekalipun cukup berliku dan mendaki yakni menuju wushul ilallah. Melalui bimbingan Mursyid Kamil wa Mukammil yang terus-menerus membimbing semua murid dan ikhwan dengan segenap kekuatan lahir dan bathinnya yang telah disempurnakan (al-mukammil) oleh Allah SWT merupakan realitas dunia sufi yang terus berjalan dari waktu-ke waktu. Para murid dan ikhwan TQN yang memiliki latar belakang dan potensi kemanusiaan yang bermacam ragam, serta dengan watak dan berbagai persoalannya masing-masing, secara antusias terus mendatangi Pangersa Abah Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul’Arifin, dan dengan sabarnya beliau terus dan senantiasa membimbingnya serta mendo’akannya. Mereka para murid dan ikhwan terus-menerus menarik dan mengambil energi ruhani dari beliau agar jalan pikiran dan perasaannya bisa disambungkan dengan Allah SWT, kapan dan dimana saja, dalam kondisi serta situasi apapun. Apalagi situasi umat Islam yang semakin hari-semakin banyak persoalan dan bagaimanapun juga berbagai tekanan materialisme terhadap jiwa manusia semakin terasa dari hari ke hari; dari mulai himpitan ekonomi, keluarga sampai pada persoalan-persoalan theologi dan sebagainya.
Kesadaran bahwa jiwa-jiwa mereka terasa masih kotor, lemah dan kerdil terutama ketika menghadapi berbagai persoalan duniawi, merupakan problema pokok yang hampir dirasakan semua murid dan ikhwan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, pertemuan antara murid dan mursyid yang membimbingnya sangat dianjurkan bahkan menjadi sesuatu yang wajib dalam etika dunia tarekat, tasawuf. Pertemuan yang dilakukan dalam bentuk pertemuan baik secara lahiriyah maupun bathiniyah, merupakan hal yang sangat logis. Karena pertemuan tersebut selain untuk mendapatkan barakah, juga secara psikologis bisa menumbuhkan perasaan dan semangat (ghirah) keagamaan. Mungkin ini hikmah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai pernyataan haditsnya, bahwa bertemu dengan para ulama yang mengamalkan ilmunya (ulama al-‘amilin) dan hamba Allah yang shaleh (‘ubbadusshalihin) adalah bagian dari ibadah. Sehingga istilah rabithah sebelum para murid dan ikhwan melakukan amaliyahnya, merupakan bentuk silatuhami ruhani antara murid dengan mursyid-nya. Menurut Syekh Ahmad bin Muhammad bin ‘Iyad, bertemu secara fisik sebaiknya biasa dan bisa dilakukan oleh seorang murid terhadap mursyidnya minimal satu munggu atau se-jum’at sekali, karena melalui kontak fisik akan semakin menambah ghirah beribadah dan mendapatkan cahaya nur ilahi secara langsung dari wajah dan dari tangan mursyidnya.

Mursyid dan Otoritas Pengembagan Ruhani Murid


            Berbeda dengan para pencari pengetahuan lainnya, menapaki jalan spiritual perlu dan harus didampingi oleh seseorang yang sudah memiliki pengalaman ruhani dan memiliki otoritas dalam mengembangkannya. Sekalipun memang dalam semua kegiatan proses belajar-mengajar, secara normal dan alamiyah harus terdiri antara guru dan muridnya. Seseorang yang otodidak dalam belajar elektronik, matematika atau ilmu bangunan dan sebagainya yang sifatnya masih sederhana, masih ditolerir tanpa berhadapan langsung dengan gurunya, karena tingkat kecelakaan atau kesalahan dari apa yang dilakukannya, tidak berdampak total pada diri seorang pelajar tersebut. Istilah belajar dari kesalahan (trial and error) dalam pengembangan sains dan teknologi, mungkin sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Tapi dalam persoalan jalan ruhani yang menyangkut serta berkait erat dengan persoalan-persoalan, theologi/aqidah, serta penyikapan terhadap berbagai hakikat syari’at, maka kesalahan seseorang dalam menapakinya karena tidak adanya mursyid yang membimbingnya, akan berakibat sangat fatal. Mereka akan menjadi mainan dan bulan-bulanan iblis laknatullah. Seperti yang dikhawatirkan Syekh Yazid al-Busthomy, bagi siap saja yang akan menapaki jalan ruhani, tapi tidak ada mursyid yang membimbingnya, maka pembimbingnya syaithon. Karena iblis atau syaithon telah berjanji dalam al-Qur’an, bahwa ia akan senantiasa mencegah sampainya seseorang pada jalan ruhani yang hakiki, yakni jalan lurus menuju Allah SWT (la aq’udannahum shirataka al-mustaqim). Mereka berada di sebelah kanan dan kiri, di depan dan belakang, di atas dan bawah senbagai para penggoda dan pengganggu yang terus-menerus siap menerkam si salik atau murid. Para syaithon sebagai penggoda dan pengganggu ini menunggu lengahnya si murid, mereka siap menyelinap dalam setiap qolbu murid yang masih belum bisa mengendalikan hawa nafsunya. Terkadang sekilas terasa benar apa yang diperbuat dan dilakukannya selama ini, padahal bisa jadi masih berupa jebakan-jebakan bahkan hanya sebagai phatamorghana (bayangan) belaka. Perjalanan si murid akhirnya banyak terganggu oleh berbagai liku panorama spiritual yang mengasyikkan padahal (bahkan) mengerikan, baik bagi keselamatan jiwa atau raganya. Hanya dengan mursyid yang ‘arif yang bisa melihatnya dengan rahmat Allah SWT yang tentunya untuk selanjutnya bisa mengarahkannya. Di sinilah perlu terpadunya seorang murid dengan mursyid yang“’alim” dan “’arif”; alim dalam pengetahuan aqidah dan syari’ah, ‘arif dalam berbagai pengalaman spiritual. Sehingga seorang mursyid sangat menguasai hal-hal yang abstrak dari mulai potensi dasar muridnya, perkembangan jiwanya, prilaku dan potensi ruhaninya.
            Syekh Abdul Qodir al-Jilany dala kitabnya al-Ghunyah li Thaliby Thariqi al-Haq (juz II;160-161), menjelaskan proses pengembangan sekaligus perjalanan si murid dalam mengolah hakikat ruhaninya bersama mursyidnya, dari seorang mutashawwif menuju seorang sufi, paling tidak ke dalam tahapan berikut ini:
Pertama,  si murid bersungguh-sungguh dan berkonsentrasi dalam menghadapi dirinya, nafsunya, syaithan dan segenap makhluk Allah SWT termasuk juga dunia dan akheratnya. Beribadah kepada Allah SWT tanpa mengenal arah dan mengharap sesuatu. Meninggalkan dan menetapkan sesuatu perbuatan hanya karena Allah. Membersihkan jiwa dengan mengarahkannya dari kesibukan dan kecenderungan dengan yang selain Allah. Menghindari ajakan-ajakan syaithon dan menjauhkannya dari urusan-urusan yang serba materi (sikap materialistik). Menghindari dari berbagai pergaulan berdasarkan syari’at demi tujuan akherat.
Kedua, setelah berjuang mengendalikan hawa nafsunya ia-pun berusaha untuk meninggalkan harapannya terhadap akherat dan segala yang telah dijanjikan Allah kepadanya, seperti surga. Ibadahnya bukan semata-mata untuk itu, tapi lebih jauh karena cintanya kepada Allah yang telah banyak memberikan karunia padanya. Ia keluar dari dimensi-dimensi duniawi dan memasuki dimensi ilahi; sehingga ia bisa terlepas dari berbagai ikatan dan kausalitas, sepert keluarga atau anak-anaknya. Dalam kondisi seperti ini, ia telah tertutup baginya sebuah arah materi, tetapi terbuka baginya berbagai arah dan pintu dari segala pintu yakni keridlaan pada segala keputusan ilahi. Ia akan berbuat seperti orang yang sudah tahu apa yang sedang dan akan terjadi, mengetahui segala rahasia dan segala yang tersembunyi dalam mata hatinya.
Ketiga, terbukanya pintu “qurbah” yang menyampaikan si murid pada Allah. Ia hilang dari tingkatan manusia dan memasuki kehadirat ilahi (kursy al-tauhid).
Kempat, si murid memasuki alam kesendirian (al-fardaniyah), hilanglah baginya segala penghalang, dan terbukalah Yang Maha Agung dan Maha Mulia (Allah SWT). Apabila si murid telah sampai pada tahap ini, maka ia ada tanpa ada jasad; fana dari diri (nafs), sifat-sifatnya, lingkungannya, kekuatannya, gerakan kehendak dan cita-cita duniawi serta akheratnya.  Jadilah ia seperti air bersih dan jernih (al-shafy) dalam sebuah gelas yang bisa memantulkan dan menembus bayangan dengan jelas. Tidak ada yang bisa menghukuminya kecuali kekuasaan dan kehendak Tuhannya. Ia fana dari dirinya tetapi berada dan kekal pada Tuhan dan kehendak-Nya. Ia tidak lagi memerlukan khalwat, karena khalwat biasanya untuk sesorang yang masih memerlukan wujud, ia adalah bayangan Tuhan (wa nuqallibuhum dzat al-yamin wa dzat al-syimal, QS al-Kahfi; ). Ia adalah, sejatinya seorang sufi.
Untuk memasuki pada tahapan-tahapan jalan ruhani ini, perjalanan seorang salik atau murid sangat bergantung bagaimana mursyid yang akan membimbing, mengarahkan serta mengembangkannya. Disamping itu tentunya tergantung pula pada potensi si murid serta yang paling utamanya adalah kesungguhan untuk menapaki jalan ruhani yang hakiki ini. Boleh jadi perjalanan seseorang untuk menempuh maqam yang hakiki ini, berjalan sangat lama bahkan berputar-putar belum saja tercapai, sampai datang waktu ajalnya. Tapi paling tidak, sekalipun demikian sebenarnya ia sedang berusaha, dan merasakan  berada pada jalan ruhani yang hakiki dalam dirinya. Ia sedang berjihad, dan bisa jadi nilainya bukan pada puncak maqam itu sendiri, tapi pada nilai kesungguhannya. Karena seseorang yang memasuki jalan ruhani dengan tujuan mencapai maqam seperti itu, juga merupakan perbuatan yang keliru, ia malah terjebak menjadi pengharap maqam (‘abdal-maqam), bukan keridloan Tuhannya, na’udzubillah.                           
            Oleh karenanya mengawali memasuki dunia tarekat sufi, pertama harus menguatkan aqidahnya, memahami syari’ah fiqihnya serta luruskan niat memasukinya, serta berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mencari guru mursyid kamil wa mukammil yang siap akan membimbing, mejaga dan mengarahkannya dari berbagai tipun dan godaan seperti dijelaskan di atas. Tidak dibenarkan memiliki beberapa mursyid dalam satu jenis tarekat, karena dikhawatirkan setiap mursyid akan berbeda dalam membimbing dan memberikan metodenya, sehingga kelak akan menyulitkan bagi si murid sendiri dalam menapaki jalan ruhani yang sedang ditempuhnya melalui tarekat yang diamalkannya (al-Jilany, juz II;166). Wallahu a’lam bi shawab***, insya Allah bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar