I. PENDAHULUAN
Merupakan sebuah fakta yang sudah banyak dikenal bahwa pada awal abad ke -12 H. atau 18 M. telah terjadi kemerosotan bukan hanya pada aspek politik, seperti yang terjadi di Kerajaan Usmani dan Kerajaan Mughal, tetapi telah terjadi pula ke merosotan moral agama di dunia Islam pada umumnya. faham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam di waktu itu telah mencapai titik surut terendah. Kemurnian faham tauhid mereka telah dirusak oleh ajaran-ajaran oknum tarekat yang semenjak abad ke tiga belas memang tersebar luas di dunia Islam. Bahkan , bukan hanya kemurnian tauhid saja yang telah dirusak lebih dari itu faham animisme merajalela di kalangan umat Islam. Banyak dijumpai orang-orang berziarah ke sebatang pohon besar, karena pohon besar itu diyakini mempunyai kekuatan ghaib. Di tempat-tempat lain dijumpai pula kaum muslimin pergi ke tempat-tempat yang menurut keyakinan mereka mempunyai kekuatan ghaib untuk meminta pertolongan dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi. tuhan, yang kepadanya semestinya dipanjatkan do’a dan permohonan, telah dilupakan.
Si tengah suasana seperti itu timbul kesadaran untuk membangkitkan kembali kemurnian ajaran Islam dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan al-Sunnah, semangat untuk kembali kepada ajaran Islam asli ditandai dengan bermunculan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha memurnikan ajaran agamanya. Adapun kebangkitan yang paling besar dan cukup berpengaruh luas terjadi di Jazirah Arab dalam bentuk gerakan yang cukup masyhur.[2] Gerakan tersebut dikenal dalam sejarah sebagai gerakan Wahabiah yang dilancarkan oleh seorang syeh yang bernama Muhammad Ibn Abd al-Wahhab. Fazlur Rahman melukiskan gerakan tersebut sebagai “ denyut pertama kehidupan” dalam Islam setelah kemerosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya.[3]
Dalam tulisan yang sederhana ini akan diuraikan riwayat hidup Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, pemikiran-pemikiran serta gerakannya. Dengan demikian mudahlah dilihat apakah Ibn Abd al-Wahhab itu dikatagorikan sebagai pembaharu atau pemurni.
II. RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHHAB
Ia adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ibn Sulaeman ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid ibn Barid ibn Masyraf ibn Umar ibn mi’dladl ibn Rasy ibn Zakhir ibn Muhammad ibn ‘Alawi ibn Wahib. Ia lahir di Uyainah, sebuah kota dari negeri Nejd, pada tahun 1115 H. / 1703 M.[4] Ia berasal dari keluarga yang terkenal karena kealiman dan kesalehannya. Ayahnya, Abd al-Wahhab, adalah seorang ‘alim pada masanya. Selain menjabat sebagai qadhi pada masa pemerintahan ‘abd Allah ibn Muhammad ibn Ma’mar, ia juga banyak menulis buku sekaligus mengajarkannya dalam bidang fiqh, tafsir, dan hadits. Kakeknya , Sulaeman, adalah salah seorang ulama besar di Nejd. Ia sangat dicintai oleh khususnya masyarakat Nejd karena sifat-sifatnya yang terpuji dan ke dalaman ilmunya, terutama dalam bidang fiqh, tafsir, dan hadits. Selain mengajarkan ilmunya, ia juga mengorbankan hartanya untuk menghidupi orang-orang yang belajar dan meminta fatwa kepadanya. Selain menjabat sebagai ketua lembaga fatwa, ia juga banyak menulis buku.[5]
Awal pendidikan Muhammad ibn Abd al-wahhab bermula dari belajar Al-Quran dan Fiqih Hanbali di bawah bimbingan orang tuanya. Namun setelah dewasa ia melanjutkan studinya ke tempat lain. Pertama sekali ia pergi ke Madinah. Di kota ini ia bergabung dengan ulama-ulama di sana. Sangat kebetulan pula di kota ini terdapat seorang ulama terkenal dari Nejd, yaitu Abdullah ibn Ibrahim ibn Saif. Selama di Mekah ia banyak menimba ilmu pengetahuan dari para ulama , seperti Ali al- Daghistani, Ismail al-Ajwalani, Muhammad al-faliq, Abd al-Lathif al-Afaliq dan Abdullah ibn Ibrahim. Dari yang disebutkan terakhir inilah ia paling banyak menimba ilmu.
Lebih dari itu, Ibn ibrahim memberikan ijazah kepadanya melalui dua jalan. Pertama, melalui Ibn Muflih, dari syaikh al-Islam Ahmad ibn Taymiyah, dari Syams al-Din ibn Abi Umar, dari pamannya, yaitu Muwaffiq al-Din ibn Qudamah, dari Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani, dari Abu Ya’la al-Mardawi, dari Ibn Hamid, dari Hilal, dari Ahmad ibn hanbal. Kedua, melalui Abd al-Rahman ibn Rajab, dari Syams al-Din Abi Bakr Muhammad ibn Qayyim al-Jawjiyyah, dari gurunya, yaitu Syaikh al-Islam Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taymiyah, dari Syams al-Din Naji ibn Abi Umar, dari pamannya, yaitu Muwaffiq al-Din ibn Qudamah, dari Syaikh Abd al-Qadir al-jailani, dari Abi al-Wafa ibn Aqil, dari Abu Ya’la, dari ibn Hamid, dari Abu Bakr al-Mardawi, dari al-Hilal, dari al-Atsram, dari Ahmad ibn Hanbal.
Ibn Ibrahim juga memberikan ijzah kepadanya untuk semua kitab yang dipelajari dari Syaikh Abd al-Qadir al-Hanbali, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab-kitab syarah dari keduanya, Sunan al-Tirmidzi, al-Nasari, Abu dawud, ibn Majah, seluruh kitab karangan al-Darimi dan banyak lagi kitab-kitab yang lain. Kesemua ijazah itu diberikan dengan melalui sanad yang langsung sampai kepada pengarang masing-masing kitab tersebut.[6]
Setelah menyelesaikan pelajarannya di Madinah, ia merantau ke Basyrah dan tinggal di kota itu selama empat tahun. Setelah itu ia pindah ke bagdad dan tinggal selama lima tahun. Diapun tinggal di Kurdistan satu tahun, dua tahun di Hamadhan, kemudian ia pergi ke isfahan. Di kota yang terakhir ini ia sempat mempelajari filsafat dan tasawuf.[7] Sumber lain mennyebutkan pula bahwa ia pernah pergi ke Persia, Syiria, dan bahkan ke Mesir.[8]
Setelah merantau bertahun-tahun di negeri lain, ia akhirnya kembali ke tempat kelahirannya di Uyainah. Di kota kelahirannya tersebut, ia tampil dengan menyerukan gagasan-gagasannya secara terang-terangan. Namun ia tidak mendapatkan perlakuan yang layak dari masyarakat setempat. Hal itu disebabkan karena keyakinan mereka penuh dengan khurafat dan kebid’ahan itu terasa diusik oleh da’wah-da’wah yang dilancarkan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab.
Ketika ditentang oleh masyarakat setempat, yang kemudian tampak semakin kuat dan bertambah kuat, Ibn Abd al-Wahhab terpaksa meninggalkan Uyainah dan pindah ke suatu desa yang bernama Dar’iyah, sebelah utara Riyadh. Di desa tersebut pertama ia tinggal di rumah Abd Allah ibn Suwailim. Ibn Suwailim sebenarnya sangat gelisah dengan datangnya tamu itu, tetapi ia selalu menampakkan diri seperti tidak ada masalah apa-apa. Ia berharap agar tamunya itu segera meninggalkan rumahnya, karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas diri, keluarga hartanya. Terlebih – lebih ia menjadi gelisah ketika banyak orang yang secara sembunyi-sembunyi datang ke rumahnya untuk menemui dan belajar kepada tamunya itu.
Pada suatu ketika ada seorang dari murid-murid Ibn Abd al-Wahhab berpikir hendak menyampaikan berita kedatangan gurunya itu kepada Amir Dar’iyah, yaitu Muhamma ibn Sa’ud. Rencana ini segera diurungkannya, karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas diri gurunya. Akhirnya, dengan melalui musyawarah, mereka memutuskan untuk menemui saudara kandung Amir, yaitu Tsanyan, dan isyri Amir, yaitu Mawdla bint Abi Wadlan dari keluarga Katsir.
Dengan penjelasan dan pendekatan kedua orang itulah, Amir menyatakan dukungannya terhadap Ibnn Abd al-Wahhab, bahkan atas saran keduanya akhirnya Amir datang sendiri ke rumah Ibn Suwailim untuk menemui dan menyambut kedatangannya. Dengan Amir inilah, ia mencapai sukses besar dalam gerakannya, sekalipun mendapat tantangan keras, terutama dari Duhham ibn dawwas, Amir Wilayah Riyadh, Sulaiman, Amir wilayah Ihsa’, banu Khalid dan Ibn Mufliq, Amir wilayah Qathif dan Ibn Tsuwaini, Amir wilayah basyrah. Bahkan kemudian empat wilayah itu berhasil dikuasainya.
Setelah geraka Ibn Abd al-Wahhab dapat menguasai seluruh wilayah Nejd, maka ia memerintahkan masyarakat Nejd untuk membaiat Amir sa’ud, Abd al-Aziz ibn Muhammad ibn Sa’ud. Dengan ini kemudian Ibn Abd al-Wahhab semakin kuat.[9]
Di tahun 1787 M. (1206 H.) Ibn Abd al-Wahhab meninggal dunia, tetapi ajaran-ajarannya tetap hidup dengan nama Wahhabiah. Sebenarnya nama tersebut kurang berkenan di hati penganut aliran ini. Yang demikian itu disebabkan karena penyalahgunaan kata oleh lawan-lawan mereka yang memberi penafsiran bahwa aliran mereka adalah aliran yang baru, yang terlepas dari ajaran Islam dan dicap sebagai suatu aliran yang sesat. Maka dinamakanlah aliran mereka sebagai Wahhabiah yang dinisbatkan kepada pelopornya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Kemudian dipergunakan pula oleh orang-orang Barat, yang selanjutnya kata itu dipergunakan sebagai suatu kebiasaan. Sedangkan para pendukung Ibn al-Wahhab sendiri menamakan diri mereka dengan al-Muwahhidun atau al-Muslimun.[10]
III. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHHAB
Pemikiran-pemikiran Ibn Abd al-Wahhab sebenarnya bukanlah pemikiran-pemikiran baru dalam Islam, hanya saja ia menjadi sangat menarik karena ia muncul sebagai reaksi langsung terhadap suatu kondisi yang ia temui ketika itu.
Di setiap negara Islam yang dikunjunginya, ia melihat kuburan-kuburan Syaikh tarekat bertebaran. Tiap kota, bahwa kampungnya, mempunyai kuburan Syaikh atai Wali masing-masing. Ke kuburan-kuburan itulah umat Islam meminta pertolongan dari Syaikh atai wali yang dikuburkan di dalamnya. Menurut keyakinan mereka bahwa para syaikh atau wali yang telah meninggal ituu dipandang sebagai orang yang berkuasa dalam menyelesaikan segala persoalan yang mereka hadapi. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan do’a tidak lagi langsung dipanjatkan kepada Allah, tetapi melalui syafaat syaikh atau wali tarekat. hal ini berdasarkan keyakinan mereka bahwa Allah tidak dapat didekati kecuali melalui perantara.[11]
Tidak berbeda dengan kopndisi di atas, praktek aqidah Islam di Nejd juga telah bercampur dengan syirik dan khurafat. dan hal ini telah mengakar di hati umat Islam di Nejd. faham animisme benar-benar telah mempengaruhi keyakinan mereka. Di suatu tempat dijumpai orang-orang berziarah ke sebatang pohon kurma, karena pohon itu diyakini mempunyai kekuatan ghaib. Di tempat lain dijumpai pula orang-orang yang mendatangi batu besar. kaum Muslimin datang ke tempat-tempat seperti itu untuk meminta p[ertolongan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Taqarrub mereka tidak lagi kepada Allah, tetapi kepada benda-benda tersebut. Sejarah Arab jahiliyyah terjadi lagi pada mereka. Kebiasaan mereka sama dengan kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyyah msa lampau. Demikian pula seluruh sendi kehidupan masyarakat Islam di Nejd telah mengalami kemerosotan sampai pada titik yang sangat kritis.[12]
Melihat kondisi di atas tidak mengherankan jika pemikiran-pemikirannya berpangkal pada masalah tauhid, karena tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam.
Dalam pembentukan pemikiran ibn Abd al-Wahhab, ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah sangat berpengaruh sekali. Bahkan disebutkan bahwa ajaran-ajarannya tidak berbeda dengan ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah.[13] Hanya saja dalam penerapan ajaran Wahhabiah ditandai dengan kekerasan.
Ada beberapa pemikiran muhammad ibn Abd al-Wahhabyang mendasar.
Pertama, prinsip yang berhubungan dengan masalah tauhid. masalah utama yang selalu mengusik pemikiran Ibn Abd al-Wahhab adalah maslah tauhid yang merupakan ajaran laping penting dalam ajaran Islam. Mengapa demikian / karena tauhid merupakan dasar Islam yang berpusat pada laa ilaaha illa Allah, tiada Tuhan selain Allah, dan yang membedakan Islam dengan yang lainya, dan yang diserukan oleh Nabi Muhammad dengan sungguh-sungguh. maka tiada berhala, tiada penyembah kepada berhala, tiada
penyembahan kepada orang tua dan nenek moyang, dan tentu tidak pula kepada pimpinan agama.[14]
Dalam beberapa kitab karangannya ia mengemukakan konsep tauhid. Allah menciptakan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepadanya, (Q.S.51 : 56 ). Ibadah yang semata-mata ditujukan kepada Allah itulah yang dimaksudkan dengan tauhid. Mengenai macam tauhid itu sendiri, ia mengemukakan bahwa tauhid ada tiga macam, yaitu : a. tauhid Rububiyyah, b. Tauhid Uluhiyyah dan c. Tauhid Asma’ dan Shifat.
Tauhid Rububiyyah adalah pengakuan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara alama ini. Tauhid Rububiyyah ini sudah ada pada masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Kepercayaan kepada Tuhan dengan tauhid Rububiyyah ini tidak menjadikan seseorang menjadi Muslim. Yang menjadikan seseorang menjadi muslim adalah tauhid Uluhiyyah, yaitu tiada yang disembah kecuali Allah. Orang yang menyembah Allah dan juga menyembah berhala, atai Nabi Isa, Malaikat, tidaklah disebut mentauhidkan Allah; walaupun ia percaya bahwa hanya Allah Pemberi Rizki dan Sang Pencipta. Sedangkan yang dimaksud dengan tauhid Asma’ dan Shifat adalah mentauhidkan dzat, asma’ dan shifat Allah.
Dalam mempertegas pengertian tauhid, Muhammad ibn Abd al-Wahhab dalam kitab Kasyf al-Shubhat, mengemukakan bahwa tauhid adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan dengan lidah dan dilakukan dengan perbuatan. Jika kurang dari unsur-unsur tersebut, maka ia tidaklah termasuk orang Islam.
Lawan dari tauhid, seperti termasuk di atas, adalah syirik. Menurut Ibn Abd al-Wahhab ada tiga macam syirik, yaitu :
1. Syirik Akbar (QS. 4 : 48, 116). Syirik ini berwujud pada empat bentuk , yaitu : a. Syirikal-Da’wah (QS. 29 :65); b. Syirik al-Niyyah wa al-Iradah wa al-Qashd (QS. 11 : 15-16) ; c. Syirik al-Tha’ah (QS. 9 : 3) dan d. Syirik al-Mahannah (QS. 2 : 165).
2. Syirik Ashghar, yaitu riya’ (QS. 18 – 110).
3. Syirik Khofi. Dalil Syirik yang ketiga ini adalah sabda Rasulullah SAW., sebagai berikut :
الشرك فى هذه الأمة من ذبيب النهلة السوداء على صفاة سوداء في ظلماة الليلة.
Cara untuk menghapuskan syirik ini adalah dengan membaca do’a yang diajarkan oleh Nabi Rasulullah SAW., sebagai berikut :
اللهم اني اعوذبك ان اشرك بك شيئا وانا اعلم واستغفرك من الذنب الذى لااعلم.
Bertolak dari pemahaman prinsip tauhid di atas, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menyerang dan memberantas semua adat kebiasaan yang terdapat di masyarakat. Menurut ibn Abd al-Wahhab, orang yang menyembah selain Allah, telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh. Termasuk syirik adalah meminta pertolongan yang bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada syaikh atau wali, atau kepada kekuatan ghaib, tawassul dengan menyebut Nabi atau Malaikat, meminta syafa’at selain Allah, dan bernadzar selain kepada Allah.[15] Sementara hal-hal berikut ini termasuk katagori kufr; memperoleh pengetahuan selain dari Al-Quran, hadits dan Qiyas, tidak percaya kepada qada dan qadar Tuhan, dan menafsirkan Al-Quran dengan ta’wil (interpretasi bebas).[16]
Kedua, kembali kepada Al-Quran dan al-Sunnah. Masih berpangkal dari soal tauhid yang dikemukakan di atas. Ibn Abd al-Wahhab menyerukan sebuah semboyan : “ Kembali kepada ajaran Islam yang asli “. yang dimaksud dengan kembali kepada ajaran Islam yang asli adalah sebagai yang dianut dipraktekkan di zaman Nabi, sahabat serta tabi’in, yaitu sampai abad ketiga hijriah.[17] Menurutnya, kepercayaan-kepercayaan bukanlah ajaran asli dari Tuhan dan harus ditinggalkan. Dengan demikian patuh dan taqlid kepada pendapat-pendapat ulama sesuadah abad ketiga hijriah tidak dibenarkan. Oleh karena itu dalam rangka menunaikan ajaran Islam, Ibn Abd al-Wahhab menyeru agar kembali secara langsung kepada Al-quran dan al-Sunnah. Setiap yang berada dari keduanya, menurutnya, adalah bid’ah yang masuk ke dalam Islam.[18]
Ketiga, hal-hal yang berhubungan hukum Islam. Sesuai dengan semboyannya, maka dalam penentuan hukum Islam ia berpedoman hanya pada Al-Quran danal-Sunnah yang merupakan sumber hukum Islam. Ia mengatakan, halal dan haramnya sesuatu adalah berdasarkan kedua sumber itu. Sedang dalam soal furu’ ia kembali pada mazhab Hambali.[19] Namun demikian ia sendiri tidak mengikuti mazhab tersebut secara membabi buta dalam setiap urusan. Dalam tulisan-tulisannya, secara terang-terangan, ia mengatakan tidak keberatan bila ada umat Islam hendak mengikuti mazhab-mazhab dari ketiga imam lainnya.[20]Hal ini erat kaitannya dengan ijtihad yang dianjurkannya.
Dalam hal-hal yang dianggap bid’ah dan haram hukumnya, serta wajib diberantas, diantaranya adalah : Mengadakan upacara maulid Nabi, wanita mengiringi jenajah dan mengadakan perkumpulan-perkumpulan zikir, seperti praktek-praktek yang dilakukan kaum tarekat. Dikatagorikan bid’ah serta haram hukumnya adalah merokok, lelaki berpakaian sutera, berfoto, dan makruh hukumnya musik, bahkan soal-soal yang kecilpun dianggap bid’ah.[21]Di samping itu iapun memerintahkan secara paksa kepada orang-orang Islam untuk mengerjakan shalat, mengeluarkan rukun Islam lainnya.[22] Ini dimaksudkan untuk terjelmanya masyarakat yang Islami.
Keempat, dibukanya pintu Ijtihad. Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak mempetahankan faham taklid yaitu mempetahankan pendapat-pendapat ulama terdahulu. Faham taklid selama ini dipegang oleh ulama-ulama pada waktu itu yang mengakibatkan masyarakat menjadi statis. Oleh sebab itu, menurutnya, bagi orang yang telah memiliki persyaratan secara sempurna dianjurkan untuk berijtihad. Berijtihad dii benarkan asalkan kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah. Pemikiran ibn Abd al-Wahhab inilah yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad kesembilan belas.[23]
IV. TINJAUAN TERHADAP GERAKAN WAHHABIAH
Bila seseorang mendengar kata wahhabiah akan terbayang baginya sikap kekerasan mereka. Bagaimana tidak, pembongkaran berbagai bangunan di atas kuburan, tafkir, bahkan qital merupakan gambaran dari gerakan ini. Misalnya di tahun 1802 M. mereka serang karbala karena di kota itu terdapat kuburan al-Husain yang merupakan kiblat bagi golongan Syi’ah. tak ketinggalan madinah mereka serang; kubah-kubah yang berada di atas kuburan mereka hancurkan. Hiasan-hiasan yang berada di atas kuburan Nabi dirusak. Dari sudut ini ahli sejarah Mesir Abdurrahman al-Rifa’i , yang dikutip oleh Ahmad Salaby mengemukakan bahwa : Sebenarnya ajakan Ibn Abd al-Wahhab itu pada prinsipnya adalah pemikiran yang benar. namun, dalam penerapannya, ia berlebih-lebihan dan dibarengi dengan kekerasan, sehingga dengan mudah ia mengkafirkan setiap orang yang tidak mengikuti jalan pikirannya dan tidak melaksanakan ajarannya.[24] hal itu, tampaknya dapat dipahami karena kebobrokkan moral mereka yang ada pada waktu itu yang menuntut dipergunakannya kekerasan, atau karena kekakuan dalam memahami nash, di samping mereka mendapat dukungan dari penguasa setempat.
Ada beberapa tinjauan tentang hakekat gerakan Wahhabiah ini :
Pertama, bahwa gerakan Wahhabiah merupakan gerakan ishlah semata yang bertujuan membersihkan berbagai noda syirik yang selama ini telah merajalela di masyarakat.
Kedua, bahwa gerakan Wahhabiah adalah gerakan politik, semata yang menggunakan lebel ishlah keagamaan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politiknya, yaitu lahirnya negara merdeka di jzirah Arab yang terlepas dari khalifah Usmaniah.
Ketiga, bahwa gerakan Wahhabiah merupakan gerakan ishlah keagamaan sekaligus juga gerakan politik. hal ini dapat dilihat dengan terjelmanya ishlah keagamaan dan negara yang bebas dari kekuasaan dari kekuasaan Kerajaan Usmani.
Pandangan pertama dan kedua kelihatannya kurang melihat realitas wujud dari gerakan tersebut, di samping mengabaikan watak da’wah gerakan tersebut yang tidak memisahkan antara agama dan negara. Sementara kalau ditinjau dari pandangan yang ketiga – yang menurut penulis mendekati kebenaran kurang memperhatikan proses tahapan gerakan tersebut. Proses gerakan tersebut tampaknya lebih bersifat tepat bila dikatakan bahwa semula gerakan Wahhabiah bersifat ishlah keagamaan, kemudian unsur politik memberikan corak baru ke dalam gerakan ini setelah terjalinnya kerja sama antara Amir. Saudi dengan Syekh.
Dengan melihat proses gerakan Wahhabiah di atas, maka akan mudah dipahami mengapa demikian cepat dan luasnya penyebaran ide-ide pemikiran gerakan ini, sekaligus juga cepat dan luasnya pengaruh yang ditimbulkan. Dari karakteristik gerakan tersebut yang bersusaha memurnikan ajaran Islam secara konsekwen serta kterkaitannya dengan aspek politik dengan dukungan penguasa setempat menjadi sebab kesuksesan gerakan ini. Di samping hal tersebut adalah faktor ekonomi yang menambah kekuatan dari gerakkan ini, yaitu setelah dibukanya tambang sumur minyak di tepi pantai Arabia.
Meskipun gerakan Wahhabiah secara murni politis hanya terbatas pada Kerajaan Saudi Arabia, namun secara spiritual pengaruhnya menyebar luas ke antero dunia Islam. Ajaran – ajaran gerakan ini disiarkan dan dikembangkanoleh kaum muslimin yang pulang ke negerinya masing-masing setelah bermukim, atau menunaikan ibadah haji di Mekah. Di anak benua India pengaruh Wahhabiah diikuti oleh Sayyid Ahmad, yang melakukan ibadah haji tahun 1822 M. Dia mendirikan gerakan yang menyerupai gerakan Wahhabiah dan memaklumkan jihad terhadap orang-orang yang tidak mempercayai dakwahnya dan tidak masuk barisannya.[25] Begitu pula pengaruhnya sampai ke Aprika utara yang dipelopori oleh Muhammad ibn Ali al-Sanisi. bahkan ke daerah yang jauh sekalipun, seperti Negeria dan Indonesia (Sumatra), terkena pengaruh aliran ini.[26]
Periode pertama, yaitu masa Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Setelah Ibn abd al-Wahhab berkelana bertahun-tahun untuk menuntut ilmu, ia kembali ke kampung halamannya untuk mengemban missinya. Penguasa setempat gembira dengan dakwahnya. Akan tetapi masyarakat awam dan ulama menentangnya, sehingga memaksa Muhammad ibn Abd al-Wahhab untuk keluar dari situ dan hijrah ke Dar’iyah. Di sana ia disambut oleh penguasa setempat, yang kemudian hari mengadakan perjanjian. Terjelmalah kekuatan politik dan missi agama.
Namun prestasi gerakan ini berakhir pada awal abad ke 19 ketika penguasa Mesir, muhammad Ali merasa terancam dengan kekuatan persekutuan Saudi –Wahhabi ini. maka Muhammad Ali akhirnya dapat mematahkan gerakan ini pada tahun 1819 M.
Kedua, Negara Saudi –wahhabi. Tentara mesir tidak lama tinggal di saudi Arabia, karena pada waktu itu pemimpin Saudi membangun kembali negaranya dengan beribu kota yang baru, yaitu Riyadh. Pelopor dari kebangkitan negara ini adalah Turki (W.1834) dan anaknya, Faisal (W.18650. Setelah wafat Faisal, negara kacau karena pertentangan keluarga dan sementara itu para pemimpin suku Arab mengambil alih kepemimpinan di daerah-daerah masing-masing sehingga Dinasti saudi hancur pada tahun 1890 M.
Ketiga, Abad ke-20 , abad kebangkitan. Periode ketiga dari sejarah gerakan Wahhabiah dimulai pada tahun 1902 M., yaitu dengan dikuasainya Riyadh oleh Abd al-Aziz dapat menaklukkan beberapa daerah yang dahulu pernah dikuasai nenek moyang mereka. Puncak kebangkitan dari negara Wahhabi-Saudi ini ketika Abd al-Aziz dapat menduduki Mekah di tahun 1920 dan setahun kemudian Madinah dan Mekah.
V. P E N U T U P
Dari uaraian singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai akhir dari tulisan ini :
1. Muhammad ibn Abd al-Wahhab dengan gerakannya tidaklah tepat dikatagorikan sebagai gerakan pembaharuan. Ia lebih tepat diseut sebagai gerakan pemurnian. Gerakan ini lebih banyak mengacu pada pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah dan Ahmad Ibn Hanbali.
2. Sesuai dengan kondisi yang dihadapi, pemikiran-pemikiran Ibn Abd al-Wahhab berpangkal pada soal tauhid yang merupakan ajaran paling dasar dalam Islam.
3. Menurut ibn Abd al-Wahhab, sumber ajaran Islam adalah Al-Quran dan al-Sunnah. Ini berarti pendapat-pendapat ulama tidaklah merupakan sumber ajaran Islam dan oleh karenanya taklid kepada pendapat mereka tidaklah dibenarkan. Hal ini berarti pula pintu ijtihad terbuka. Akan tetapi tampaknya gerakan ijtihad yang di dengungkan itu tidak mencapai al-hasil yang maksimal, karena di sisi lain ia berpegang secara kaku terhadap teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah tanpa adanya penalaran terhadap ajaran-ajaran Islam.
4. Gerakan Wahhabiah mencapai sukses besar karena mendapat ddukungan penguasa setempat, Kerajaan Saudi Arabia, baik pada awal pertumbuhannya maupun pada masa perkembangannya.
[2] Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Muhammad, “Islam”, Pustaka, bandung, 1984, hal. 286.
[3] Fazlur Rahman, “ Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah tantangan Dewasa ini “, dalam
Perkembangan Moderen dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 21-22..
[4] H.A.R. Cibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, EJ. Brill, Leiden,1953, hal. 618.
[5] Ahmad Abd al-Chafur Athar, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Cet. II,t.p.,1976,hal.42-43
[6] Ibid.,hal.48-51
[7] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Asshr al-Hadits, al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1979, hal. 10.
[8] Mircea Eliade et al Ed., The Encyclopedia of Religion,Macmilan, New York,1984, hal. 551.
[9] Ahmad Abd al-ghafur Athar,op.cit., hal. 73-78
[10] Ahmad Amin, loc.cit.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta ,1988,hal. 24.
.
[12] Ahmad Abd al-Ghafur Athar,op.cit.,hal.25-27.
[13] Ahmad Salaby, Mausu’at al-Tarikh al-Islamiy wa al-Nadharah al-Islamiyyah, al-Nahdhah al-Mishriyyah, Kairo, 1977. hal. 144.
[14] Ahmad Amin, loc.cit.
[15] SyaikhMuhammad ibn Abd al-Wahhab (selanjutnya disebut Ibn Abd al-Wahhab), Majmu’ah al-Tauhid,
maktabah al-Riyadl al-Haditsah, Riyadh,t.t.,hal. 4-6.
[16] Harun nasution,loc.cit.
[17] Ibid.
[18] Harun Nasution,op.cit.,hal.25.
[19] Ali Muhafazah, Al-ittijahat al-Fikriyyah ‘ind al-‘Arab fi Ashr al-nahdhah, Bairut, 1978, hal. 40
[20] Ahmad salaby, loc.cit.
[21] Maryam jamaelah, Islam in Theory and practice, Taj Printers, New Delhi, 1983, hal. 119.
[22] Humammad Abu Zahrah, tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo, t.t., hal. 273. Lihat p pula Ahmad Salaby, op.cit., hal. 142-143.
[23] Ali Muhafazhah,op.cit., hal. 42.
[24] Harun Nasution, op.cit., hal . 26.
[25] Ahmad Salaby, op.cit., hal. 148.
[26] Mircea Elitade et al Ed., op.cit., hal. 313.
Citra wahabi yang sampai kepada kita sudah terkontaminasi politik para elit maupun ulama yang tidak menyadari politik adu domba musuh islam. sehinnga Muslim lebih tasamuh kepada Non Muslim.
BalasHapuspadahal setiap pergerakan pasti punya sisi negativ baik secara historis maupun pemikiran.
http://www.islamshout.blogspot.com