Senin, 11 April 2011

TASAWUF


SUFI DAN AKTIFITAS SOSIAL-POLITIK
DI PULAU JAWA
Ajid Thohir
Mukaddimah
            Kelompok-kelompok sufi (the sufi orders) yang melembaga dalam wadah tarekat (Arab, thoriqoh, jalan atau aliran tasawuf) begitu besar dalam membangun dan mengembangkan kehidupan Islam secara mendalam (esoteric).  Tanpa lembaga seperti ini, nampaknya dunia umat Islam akan kehilangan keseimbangan dalam memenuhi dan menjawab aspek batin keagamaannya. Sekalipun demikian sulitnya orang memahami tradisi yang satu ini sehingga akibat ketidaktahuannya mereka selalu mengecam kehidupan komunitas yang satu ini. Para pengamat sosial (antropolog, sosiolog dan sejarawan) banyak mencoba untuk “menjinakkan” lahan kajian kehidupan mereka yang rumit ini.  Kerumitan itu justru bagi sebagian ilmuan merupakan lahan kajian yang unik dan menarik, semakin masuk kedalamnya semakin terbuai.  “Ia laksana kebun mawar” kata Schimmel, “aku enggan keluar…, setiap kuamati perilaku mawar itu semerbak baunya semakin membuat aku betah di dalamnya sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan pertanyaan yang tak pernah ada habisnya” (Annimerie Schimmel, 1986).

            Di dorong oleh kenyataan tersebut, tulisan ini pun sedikit banyak akan mencoba mencari jawaban, atas ketidaktahuan dan tuduhan awam, yang senantiasa melihat aktifitas kelompok sufi (tarekat) katanya hanya lebih menekankan pada aspek akhirat saja tak peduli pada persoalan di sekelilingnya. Padahal sebenamya kata Seyyed Hossain Nasr; “tariqoh is the most subtle ... aspect of Islam ... at the same time that is external effect is to be seen in many manifestation of islamic society and civilization” (Hossain Nasr, 1979: 121), bahwa tarekat sufi bukan hanya aspek terpenting dari Islam, tapi juga dalam panggung sejarah, mereka telah terbukti memberikan manifestasi yang sangat besar bagi pengembangan masyarakat dan peradaban Islam secara nyata.
           
            Untuk melihat bagaimana efek atau fenomenanya terhadap masyarakat dan peradaban Islam, maka mendalami atau paling tidak mengenal struktur bangunan dan peranannya dalam kehidupan sosial, nampaknya sebuah terobosan intelektual yang cukup baik. Oleh karena itu, perspektif “struktural-fungsional” dalam mengamati kenyataan tersebut, dianggap membantu betul dalam mendekati persoalan dan memahami dunia sufisme. Sebagaimana Christopher Dawson katakan bahwa:

“Religion is the key of history. We can not understand the inner form society unless we understand religion. We can not understand it is cultural achievement unless we understand the religious beliefs that lie behind them” (P.J.Zoetmulder, in at.al. Soedjatmoko; 1973 : 327).

            Mengkaji berbagai fenomena tarekat dalam kehidupan sosial-politik di masyarakat, kita bisa memahaminya dengan melihat suatu perbandingan dengan doktrin Islam (Islamic) yang masuk ke dalam suasana masyarakat kemudian terjadi proses tawar-menawar antara ajaran dasarnya dengan conditio sine quenon masyarakat --sebutlah peristiwa seperti ini sebagai fenomena Islamicate yang akan melahirkan realitas sejarah baru bagi dunia Islam (Islamdom), sebagai sebuah realitas yang sebenarnya (meminjam istilah Hudgson, 1975 : 56-60). Proses dari “Islamicate” ke “lslamdom”, perlu dipahami pada studi kita kali ini yakni ketika tarekat berubah dari sistem “sosial-organik” ke“sistem religio-politik”. Suatu perubahan yang memang seharusnya dikehendaki oleh para penganut setianya; kapan ia mesti sebagai pusat lembaga moral dan akherat sentris dan kapan ia mesti sebagai gerakan sosial-politik yang profan.

Fenomena Sufi dan Gerakan Sosial-Politik
              Kelompok puritanis dan awam yang hanya banyak mengenal Islam dari aspek exoteris (syari’at, lahiriyah, legal dan formal) sering kali mendeskriditkan keberadaan kelompok-kelompok sufi dengan berbagai lembaga tarekatnnya.  Ketegangan itu semakin melebar akibat yang satu lebih banyak menekankan lahiriyah semata, sementara yang lain lebih cenderung ke arah hakikat batiniyah dalam melakukan amalan-amalan Islam. Sekalipun sebenarnya kelompok terakhir ini selalu berangkat dari tonggak-tonggak syari’ah, kecuali hanya orang-orang kebatinan murni saja. Simbolisme kehidupan dalam pengetahuan dan pengalaman beragama antara keduanya, yang satu lebih pada pengembangan potensi Nabi Hidlir as, yang satu lagi pada pengembangan potensi Nabi Musa as. Prilaku Nabi Musa as sebagai simbol exoterisme, seringkali terjebak oleh perilaku Nabi Hidlir as, yang lebih menonjolkan esoterisme-nya. Kedua potensi syari’at (exoterisme) dan hakikat (esoterisme) ini, pada akhirnya telah dipadukan oleh Nabi Muhammad saw. Pendalaman untuk menempuh dan mencapai nilai-nilai hakikat beragama (Islam) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini, kemudian dikembangkan dan dilakukan secara intensif oleh para sahabatnya, tabiin dan salaf as shalihin, mereka yang terakhir ini sering disebut sebagai kelompok-kelompok sufi. Namun demikian, untuk mencapai nilai-nilai hakikat ini memang memerlukan kesungguhan orang untuk mendapatkannya, sehingga jumlah mereka yang tertarikpun sangat terbatas. Mayoritas umat memandang sufi sebagai jalan yang pelik dan cukup rumit. Sehingga akibat kerumitan orang untuk memahami perilaku dan sikap hakikat mereka, masih saja  disebut mistik (gelap), bahkan tidak sampai disitu mereka katakan, bahwa sufisme adalah paham kelompok jumud, bid’ah dimana di dalamnya terdapat warna pasif dan anti intelektual. Padahal mereka itu sebaliknya kata Nasr:

“Sufism is an active participan in a spiritual path and is intellectual in the veal meanning of this word. Contemplation in Sufism the higest form activity and in fact Sufism has always integrated the active and contemplative lives. That is why many Sufism have been teachers and scholars, artists and scientifists, and eve statesmen and soldiers... “(Hossain Nasr, 1979: 132).
           
            Untuk membuktikan jawaban aktifitas mereka dalam kehidupan sosial maupun kebudayaan, para sarjana mencoba telah membantu menjelaskannya dalam berbagai penelitian mengenai kasus dan fenomena sosial yang telah digerakkan oleh mereka --yang diperkirakan bila didokumentasikan di perpustakaan tertentu tampaknya belum cukup untuk menampungnya. Gerakan-gerakan sosial dan politik di sebagian wilayah Islam telah banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok sufi ini, seperti Murabithun (1056-1147 M) di Maroko, Muwahhidun (1121-1269 M) di Afrika Utara,  Shafawiyah (1501-1514 M) di Persia, dan sebagainya.
           
            Kemudian dalam abad ke-19 saja, di Afrika gerakan-gerakan sufi dalam menjawab sikap politik terhadap kolonialisme, sangat beragarn. Abdul Qodir di Aljazair dari orde Qodiriyah, Mahmud Ahmad dari orde Sammany di Sudan Timur, Mahdi di Nilotik Sudan, Sanusiyah di Libia, Sholih Idrisy di Somalia, Ahmad al-Hiba di Maroko. Belum lagi di Asia tengah, Kelompok Naqsyabandy yang mengguncang Tiongkok, Turkistan dan Yunani juga Afganistan serta India, dimana dikedua tempat ini koloni Inggris mengalami berbagai kesulitan dan hambatan (lihat, J.S. Trimingham, 1973 240-241 dan L. Stoddard, 1966 50-61).
           
            Begitupun secara khusus di Pulau Jawa pada abad  ke-19, sumbangan Kelompok sufi (TQN) pada kegiatan sosial politik dalam melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda adalah paling tidak dengan memberi wadah organisasi, membangun ideologi perjuangan serta menampilkan pemimpin-pemimpin kharismatik bagi rakyat jajahan.
            Makanya hampir seluruhnya dapat kita katakan, imperialisme Eropa abad ke-19 selalu berhadapan dengan lembaga Islam yang satu ini, yakni lembaga-lembaga sufi (tarekat). Sehingga istilah “sufi phobia” (ketakutan kepada kelompok sufi) seringkali menyelimuti mereka. Nampkanya, akibat kenyataan ini akhirnya karya-karya tentang sufisme banyak bermunculan, khusunya dalam rangka menjawab ketakutan dan kepenasaranan orang-orang Eropa. Bermacam sarjana dari berbagai disiplin ilmu muncul, seperti AJ. Arberry, Margoliuttoh, Corbin dan sebagainya.
           
Kolonialisme dan Kondisi Sosial di Pulau Jawa
            Orang-orang Eropa sejak abad ke-16 sudah mulai bercokol di Nusantara. Akan tetapi sejak tahun 1830-an dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa khususnya (Ricklefs, 1990 : 182-189) untuk pertama kalinya pihak Belanda mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pula ini secara keseluruhan. Tidak ada satupun tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai awal abad ke-20, kecuali hanya letupan-letupan gerakan sosial kecil yang bersipat revolusioner, agresif, radikal dan endemis, namun tidak memiliki perencanaan yang matang, sekalipun demikian hal ini cukup  menjengkelkan kewibawaan kolonial.
           
            Sesunguhnya periode pergolakan sosial  pada abad ini, merupakan sesuatu yang mengiringi perubahan sosial sebagai akibat pengaruh Barat yang semakin kuat meruntuhkan tradisi lokal. Kita dapat menyaksikan tekanan (modernisasi) perekonomian dan politiknya yang menjadi-jadi sehingga mengakibatkan kehidupan, ekonomi, sosial, politik maupun agama rakyat merosot dan kemapanan tradisional lokal terancam. Di sinilah satu sisi rakyat jajahan ingin mempertahankan kemapanan “status quo”-nya, sisi lain kolonial hendak memaksakan ambisi kepentingannya.
           
            Penetapan sistem perbudakan sejak tahun 1808 masih tetap berjalan, diperbaharui tahun 1856 dengan kerja paksa. Tahun 1830-an sampai tahun 1870-an kolonial memberlakukan pajak tanaman dan pencabutan hak atas tanah bagi para petani yang tak sanggup membayarnya. Pada tahun 1882, disusul oleh kebijakan bahwa tiap-tiap kepala rakyat dikenakan pajak satu Gulden.  Semua kebijakan-kebijakan kolonial --yang antara satu dan lainnya berbeda-- hanya makin menambah beban rakyat jajahan saja.  Di samping itu praktek-praktek kerja paksa, pemungutan pajak dan sebagainya, telah menimbulkan pula perilaku sewenang-wenang dari para ambtenar dan pamong praja terhadap para petani. Hal ini dipahami oleh para petani khususnya, sebagai “tekanan” dan “tuntutan” pihak asing, padahal pada masa-masa sebelumnya tak pernah mereka rasakan tuntutan seberat ini.
           
            Akibat ketidaksiapan menerima sistem baru ini, akhirnya rakyat jajahan mengalami “anomie” dan kelesuan dalam aktifitasnya. Dimana-mana --terutama di pedalaman-pedalaman Jawa-- para petani mengalami kemerosotan standar hidup akibat sistem tanah yang terlalu ketat[1]. Tekanan yang membawa kemerosotan standar hidup ini, akhirnya menjadi akar keresahan bagi para petani (the agrarian unrest) yang pada akhirnya membentuk suatu sikap emosi dan frustasi yang kumulatif.
           
    Kebijakan kolonial yang dipahami sebagai tekanan ini, akhirnya menyeret masyarakat untuk melakukan respons berdasarkan pola-pola yang dimilikinya (arkhais, radikal dan polos) sebagaimana umumnya watak-watak masyarakat pedalaman. Sebenarnya secara sosiologis, pada abad ke-19 justru masyarakat pedalaman seperti inilah yang lebih dinamis melakukan perubahan (baca; gejolak dibanding masyarakat perkotaan) saat itu. Hal ini dapat dipahami --kalau memang betul sebagai titik pangkal perubahan- bahwa ujung urat sasaran kebijakan kolonial adalah masyarakat pedalaman (perkebunan) yang banyak bergumul dengan tanah pertanian. Karena pada abad ini, kolonialisme Eropa hampir seluruhnya bergantung pada bahan-bahan mentah sebagai pemasok kebutuhan industri. Sehingga dapat dipastikan bahwa pusat-pusat perubahan adalah daerah-daerah pedalaman, pertanian dan perkebunan sebagai sasaran kepentingan kolonial yang pada sisi lain rakyat jajahan pun tidak ingin dirugikan.
           
            Begitupun dari dalam sendiri, sebenarnya masyarakat Jawa pada abad ini benar-benar sedang mengalami suatu krisis yang luar biasa. Sejak akhir abad ke-18 mereka telah kehilangan pemimpin-pemimpin formalnya (kesultanan), seperti Banten, Demak lebih awal, Mataram dan Cirebon. Sekalipun secara formalitas masih ada beberapa kerajaan yang berdiri di Jawa, tapi secara de facto kepemimpinannya banyak diatur kolonial, seperti kesultanan Mangkunegara di Solo, Hamengkubuana di Yogyakarta dan Kesepuhan serta Kanoman di Cirebon. Sultan-sultan pada masa ini tidak lagi berkuasa untuk bisa mengayomi, menyalurkan aspirasi rakyatnya dari tekanan ordonansi kolonial. Sehingga dari kondisi seperti ini, mereka (rakyat jajahan) mulai mencari figur pimpinan alternatif, dari mulai para dukun, tokoh masyarakat dan para kyai akhirnya memperoleh momentum untuk mengaktualisasikan kepemimpinan dirinya. Ketiganya banyak didaulat sebagai figur atau simbol kekuatan mereka dalam menyalurkan aspirasi dan emosi yang memuncak. Dari kasus-kasus gerakan social di Yogyakarta 1840, Banyumas 1840, Solo 1830, Kudus 1847, Semarang 1840, Cirebon 1842, Bekasi 1869, Pondok gede 1864, Ciomas 1886, Cibarusah 1870, Banten 1886, Karawang 1839 dan lainnya.[2] Kesemuanya telah menunjukkan sifat gerakan sporadis walau sementara dari peran ketiga elit-elit sosial pedalaman tadi. Pola kepemimpinan nya lebih berskala kurang luas dan sederhana tapi sentimen psikologisnya bersifat radikal serta menunjukkan gerakannya yang abortif. Akan tetapi sekalipun demikian, ideologi dasarnya sudah mengarah pada tendensi-tendensi; nativisme (opini membangun kerajaan baru) milleniarisme (optimis akan kebebasan), dan pola kepemimpinan yang terpusat (ratu adil), sehingga para tokoh pemimpinannya banyak disebut sebagai “panembahan”.

TQN di Jawa; dari sistem Sosial-Organik  ke sistem  Religio-Politik
            Kehadiran tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah (disingkat TQN)[3] di Jawa pada  akhir abad ke-19 (sekitar tahun 1853-an), nampaknya memberi angin segar kepada rakyat jajahan yang ingin melepaskan pola hidup tertekan. Sehingga tidak aneh sejak tahun 1870-an TQN memperoleh momentum pengikut yang luar biasa. Krisis tarekat Syathariyah pada abad ke-19 yang sudah mengakar di Jawa sejak abad ke-16 --akibat diguncang kritik pada revivalis ortodok Makkah (Sayyid Utsman, Syekh Nawawi Banten, Salim ibn Sumair, Ahmad Khatib dan lainnya, yang juga berasal dari wilayah Nusantara, sepertinya hendak memberikan jalan bagi perkembangan TQN. Begitupun para kyai dan haji yang menyebarkan TQN selain memiliki kelebihan —status and role—juga bersikap melindungi terhadap rakyat. Di samping itu juga potensi dasar masyarakat (the ethnic and racial characteristic) Jawa yang cenderung menyenangi kehidupan mistik, ditambah dengan kondisi yang sedang mengalami krisis - ekonomi, sosial, politik, kepemimpinan, lembaga dan agama, kesemuanya telah ­menarik picu (catalisator) TQN untuk mengakar kuat di kalangan rakyat jajahan. Dan yang jelas pada posisi seperti ini, secara praktis masyarakat sedang membutuhkan “lembaga” dan “figur” yang bisa menyalurkan segala aspirasi politiknya.
           
            Lebih dari itu pula, TQN cenderung sekali diminati rakyat jajahan karena dipandang lebih aktif dalam melakukan kegiatan keagamaan secara kolektif. Karena TQN sebagai satu-satunya jenis tarekat yang memiliki doktrin dan menyenangi pada ritual-ritual kolektif (berjama’ah)  dalam hal amaliyahnya, dibanding jenis tarekat lainnya yang ada di Jawa pada saat itu, yang nampaknya lebih senang menikmati ritual-ritual yang lebih bersifat pribadi. Para anggota TQN atau masyarakat umum saat itu belum menjadi anngota, terasa lebih dekat untuk aktif untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pertemuan berjama’ah, yang kemudian menjadikannya sebagai sarana dan media untuk melakukan penyaluran aspirasi jihad dan mobilisasi perlawanan. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah semua itu memang berkat pola ajarannya atau kepanatikan para pengikutnya yang dengan sengaja memanfaatkan situasi organisasi tarekat untuk berubah ke arah ini?  Persoalan inilah yang perlu kita amati.
           
            Bila kita selidiki secara struktural, organisasi TQN sebagai orde sufi (atau mungkin juga tarekat lainnya?) paling tidak sampai sekarang memiliki tiga pola ajaran utama; Pertama, doktrin pusat teladan (the doctrine of the exemplary centre), kedua, doktrin kerohanian bertingkat (the doctrine of the graded spirituality), dan ketiga, doktrin negara harapan (the doctrine of the theatre centre). Dari ketiga doktrin ini nampknya secara fungsional dan struktural telah mengikat para anggota dan pengikutnya untuk membentuk “sistem sosial-organik” yang kuat dan stabil.
           
            Dalam TQN, ajaran pusat teladan (the doctrine of the exemplary centre) menempatkan seorang mursyid, syekh atau guru benar-benar sebagai tumpuan spiritual dan etika, bahkan segala aturan dan amalan dalam kelompoknya (lihat al-Jilany. 1959 : 164-166 dan Muhammad Amin al-Kurdy al-Naqsabandy, tt: 528). Tanpa restu dan ridho guru, semua prilakunya sesat dan dikucilkan oleh kelompoknya. Semakin setia seorang anggota terhadapnya semakin memudahkan dia dalam mendapatkan bimbingan rohani. Hubungan guru — murid, menurut al-Suhrawardy (tt : 78) rnengacu pada hubungan antara  Rasulullah saw dan para sahabatnya; semuanya tidak boleh mendahului ucapan dan perbuatan gurunya apalagi mengingkarinya. Nilai ini nampaknya yang kelak mudah merefleksi pada kesatuan komando politik, kapan dan dimana saja tanpa kompromi; “merah kata guru merah kata murid”.
           
            Ketaatan buta kepada guru —perinda ac cadavar—yang terkenal ini, nampaknya selalu terpelihara untuk selanjutnya melalui tradisi doktrin kerohanian bertingkat (the doctrine of the graded spirituality) dalam rangka membina pengikut untuk menjadi loyal dan fanatik terbadap ajaran anggota komunitasnya. Tradisi bai’at, talqin, bimbingan riyadlah, khataman dan manaqiban sebagai sarana ritual komunitas, selalu memberi suntikan virus kejiwaan pada setiap individu, ke arah psyco-sosial yang integrativ. Dalam tradisi yang seperti ini, tahapan-tahapan spiritual (maqomat yang disusun secara hirarkis mengantarkan pula pada prilaku yang teratur secara birokratis bagi anggotanya, sehingga  secara otomatis mereka mengetahui identitasnya pada posisi mana  tingkatan  ia berada; murid, khalifah atau mursyid. Kelas-kelas sufi (maqom) inilah yang secara tidak langsung memberikan batasan status and role  (hak dan kewajiban) baik dalam posisi agama, sosial maupun politik—seorang anggota sufi ini. Sehingga dalam peran gerakan politik, sangat memudahkan dalam membangun status pasukan. Yang jelas, dalam tradisi kerohanian bertingkat ini, selalu memudahkan  ideologi untuk diatur dan dikembangkan didalamnya.
           
            Akan tetapi, kedua doktrin dan tradisi tersebut diatas memerlukan wilayah pembinaan, wilayah (wilayah al-shufiyah) suatu zona dimana nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa gangguan, penekanan atau campur tangan asing. Doktrin ini secara antropologis dikenal sebagai visi negara harapan (the doctrine of the theatre centre) yang memiliki lingkungan sosial-budaya religius dan politik khas berdasar tradisi mistik ini. Di sinilah kekuatan emosional persaudaraan mistik (the mystical brotherhood) terpola, sehingga dapat menjiwa sistem kepribadian mereka. Doktrin dan tradisi seperti ini, sepertinya kelak mendapat tempat ketika rakyat jajahan menginginkan kembalinya kerajaan lama (kesultanan) dimana faham nativisme berkembang, dalam rangka menegakan keadilan dan kemakmuran dikalangan umat islam yang mayoritas terjajah. Inilah tiga potensi TQN dalam menghadapi dengan kondisi sosial masyarakat Jawa abad ke-19 yang siap menarik untuk mengembangkannya kearah lembaga politik yang radikal.

            Ketiga tradisi dan TQN tersebut, saat digunakan sebagam lembaga perlawanan -secara evolutif bahkan revolutif- akhirnya menjadi suatu kekuatan sistem religio-politik yang mapan. Perbuatan tersebut dalam perspektif struktural-fungsional Talcot Parsons (lihat K.J. Vegger, 1986 dan Soejono Soekanto, 1986) dipandang sebagai evolusi sosial menuju peningkatan adaptif sebagai upaya pelestartan sistem (TQN) yang sedang “terancam”. Disini TQN ditantang untuk merubah fungsi sistemnya —yang akherat sentris ke arah politik sentris—dalam rangka menyelamatkan masyarakatnya yang sedang terancam oleh peran dan tekanan kolonialisme.
            Secara struktural, ketiga pola tradisi tersebut di atas, dapat memelihara bagi terwujudnya kestabilan dan kekuatan “sistem religio-politik”.  Karena paling tidak ciri sistem ”religio-politik” yang kuat kata Donald Eugene Smith (1985; 85-86) adalah adanya ideologi keagamaan yang bersifat integralis. Mekanisme pengendalian keagamaan dalam komunitas, dan kekuatan politik dominan --dari pusat teladan. Kesemua ini nampaknya telah tercakup dan terwadahi dalam orde TQN ini.

            Ciri TQN sebagai sistem religio-politik  saat itu, dapat dilihat ketika para anggota perlawanan (pemberontakan) menetapkan susunan komando politiknya berdasar pola organisasi keagamaan (TQN); dimana seseorang posisi status politiknya diukur dari otoritas keagamaannya. Semakin dekat pada kekuasaan religius, maka semakin tinggilah ia pada hirarki sosial politik. Dalam hal ini, pemimpin berarti adalah seseorang yang menduduki hirarki keagamaan yang lebih tinggi (seperti syekh, kholifah atau badal) dari mereka-mereka sebagai anggota yang lebih rendah. Sehingga hampir semua pemuka agama (tarekat) --apakah para kyai atau haji yang menjadi anggota-- mempunyai status and role  lebih tinggi dari pejabat resmi kolonial manapun dalam kaca mata para anggota perlawanan. Segala instruksi dan komandonya tak bisa dibantah baik secara psikologis maupun secara sosiologis.

TQN dan Aktifitas Sosial Politik di Jawa
            Seperti telah dijelaskan di muka, pada abad ke-19 di Jawa sedang dihadapkan pada perubahan tatanan sosial akibat kolonialisme, dengan sendirinya Kelompok sufi (TQN) mencoba mewakili masyarakat yang sedang diguncang psikologis dan sosial. “Di atas puing-puing reruntuhan —kesultanan---mekarlah kehidupan baru” kata Schiller.  Dengan bekal yang dimiliki (ajaran, tradisi dan lain sebagainya; Islamic, versi Hudgson) para sufi mencoba menawarkan sistemnya. Dalam waktu yang singkat sekitar 1870-an popularitas TQN sebagai lembaga sufi yang cukup mengakar di mata masyarakat jajahan, menunjukkan momentum yang luar biasa.  Ia membangun dan membangkitakan kembali solidaritas rakyat jajahan dalam menjawab ketersingkiran mereka akibat kolonialisme; dengan menyulut emosi perlawanan yang dikemas dengan “suara agama” TQN mampu mengumpulkan kekuatan yang luar bisa. Disinilah wujud “sistem religio politik”  mengkristal dalam arti sesungguhnya.

            Untuk melihat bagaimana lembaga sufi ini berperan dalam hal ini, kita dapat mengakui dari betapa efektifnya TQN digunakan sebagai wadah pertemuan-pertemuan politik, mengatur strategi, membangun semangat massa dan sebagai pusat komando suatu gerakan yang muncul di  berbagai wilayah seperti Banten, Surakarta, Sidoarjo dan sebagainya. Karena sejak penode 1875-an, lembaga ini selalu dimanfaatkan oleh para haji dan kyai fanatik untuk mempropagandakan semangat Islam dan jihad, serta semangat militanisme menentang kolonial.

“penyelidikan-penyelidikan dikemudian hari telah menyingkapkan bagaimana anggota-angota komplotan telah mengadakan pertemuan di berbagai ternpat, untuk keperluan itu mereka menggunakan tarekat sebagai tempat berkumpul setelah mereka sembahyang dan dzikir.  Dari pertemuan-pertemuan itulah gerakan tersebut mampu memperatukan para kyai sebagai pemimpin komplotan di daerah masing-masing” (Sartono Kartodirdjo : 1984:256).
 
Dalam membangun ideologi perjuangan[4] pengikut TQN memanfaatkan tradisi dan berbagai ideologi lokal yang keberadaannya selalu muncul-tenggelam seperti nativisme, milleniarisme,dan  ratu adil. Kemudian mereka membungkusnya dalam pola jihad fisabilillah yang dilengkapi dengan magico-mysticism sebagai pengikat dan pemicu  psikologis para anggota gerakan politik. Semua ide-ide kolektif tradisional, seolah-olah mendapat tempat kembali melalui tradisi dan sistem yang berkembang dalam lembaga sufi TQN ini. Nativisme-milleniarisme dapat terkukuhkan dalam doktrin negera teater yang akar-akarnya berpadu dengan konsep wilayah al-shufiyah yang ada dalam TQN. Ratu adil atau lebih dikenal dengan tradisi Jawa erucokro, menempati posisi konsep mahdiisme dalam tradisi kepemimpinan Islam.

Timbul tenggelamnya ideologi-.ideologi gerakan tersebut, berbarengan dengan tindakan kolonial yang  menjadi-jadi. Sehingga secara psikologis dan sosiologis, kehadiran dan kemunculannya merupakan keharusan sejarah. Mahdiisme di Jawa diperkirakan pertumbuhannya sebagai berikut:

“Sebagai akibat perkembangan ini, maka ulama dan kyai yang menjadi guru dan penjebar Islam mulai memainkan  peranan dari hari- ke hari  semakin penting di pedesaan. .. bukan  saja dari segi jumlah  tapi juga secara psikologis dan ideologis. Bagi para petani yang ditimbuni beban pajak, meyerahkan basil tanaman secara paksa, k.erja paksa dan pajak kepala, penganjur agama Allah ini merupakan satu-satunya  tempat pelarian  dan hiburan mereka“(Harry J. Benda, 1985: 35-36).

Kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan figur ini, terapresiasikan pada guru-guru sufi atau kyai dan haji yang shaleh dan bersifat membela rakyat. Begitupun satu sisi doktrin pusat teladan seolah mengukuhkan dan begitu kondusif dalam membangun ideologi mahdiisme ini, sehingga pengikut gerakannya semakin menjadi-jadi dalam memfigurkan dan menarik pengikut lainnya dari luar.
             Akar nativisme-milleniansme, diperkirakan berkembang dari pengalaman dan kesadaran sejarah (the common historical experience) masyarakat Jawa  yang sebelumnya merasakan kebebasan, kemerdekaan, keharmonisan saat berada pada penguasa  pribumi (kerajaan, kesultanan), namun ketika kolonial berkuasa suasana kehidupan mereka malah berbalik total, penuh tekanan dan ketertindasan, “kalatida” (masa edan) kata Ronggowarsito. Pengalaman awal ini  akhirnya ingin mereka kembalikan lagi. Disinilah  para pemberontak (perlawanan) ingin membangun negara di atas negara kolonial yang penuh tekanan, membentuk sebuah Daar al-Islam untuk menegakkan kembali ummah al-Islam dalam arti yang sesungguhnya. Inspirasi doktrin negara harapan sufi, setidaknya menempati posisi sejarahnya pada situasi demikian, terutama di bekas-bekasnya kesultanan Islam, seperti Banten, Surakarta, Sidoarjo dan sebagainya.

             Kesadaran etnis yang bertalian dengan sistem poltik yang definisi-definisi kebangsaannya berasal dari  identitas religius (sufi) dalam menghadapi tekanan politik kolonial ini, telah memancing kemarahan dan memberikan  lahan subur bagi pikiran-pikiran membangun wilayah otonom bagi prasyarat pelestanian identitas pribumi anggota perlawanan.

“. . . ada satu keyakinan yang kuat bahwa, begitu keadaannya memungkinkan, negeri mereka akan diubab dengan gerakan yang menggunakan kekuatan agama dan menjadikannya sebagai wilayah Islam sejati... “(Sartono Kartodirdjo, 1984 : 23-35).

            Seluruh idiologi gerakan —nativisme, milleniarisme, ratu adil atau erucokro—yang telah dijelaskan tadi secara esensial dan formal memperoleh pembenaran (justifikasi) oleh idiologi jihad fisabilillah; yang dilengkapi magico-mysticism.[5] Tradisi magis yang banyak dikembangkan lembaga sufi ini, secara antropologis dan psikologis telah mengukuhkan semangat radikal bagi anggota gerakan dalam menumbuhkan paling tidak perasaan bahwa gerakannya bersatu dengan berbagai kekuatan spiritual.  Dan disinilah jihad fi sabilillah memperoleh momentum kelengkapan dan tersosialisasikan dengan baik, di samping tentunya oleh faktor-faktor lain, seperti kelebihan para kyai yang mendakwahkannya.

            Sehingga seruan jihad fisabilillah —sebagai miths of action—pada intinya dapat membungkus dan memberikan “sum-sum” pergerakan yang radikal. Karena memang dalam tradisi dan konsepsi TQN jihad fisabilillah sangat ditekankan pengaplikasiannya, tidak hanya dalam hal spiritual seperti memerangi nafsu syaithony, tapi juga dalam segala aspek kehidupan seperti politik, ekonomi maupun sosial.  Al-Gazaly (juz III; 302) menyebut kegiatan seperti ini bagi para kelompok sufi, sebagai al-quthb a’dham fi al-din.  (puncak dalam beragama), dan pada intinya kata al-Jilany (juz 1, 1956 50-54) jihad itu pada dasarnya adalah untuk menegakkan kebenaran, keadilan serta memberantas dan menghancurkan kedzoliman, serta berbagai penekanan, ketidakadilan dan serupanya.

            Untuk sekedar memberikan nuansa analisa historis, beberapa potret gerakan sosial yang dimotori oleh lembaga sufi (TQN) ada baiknya digambarkan bagaimana proses dan jalannya revolusi yang mereka lakukan, sekalipun gambarannya dalam bentuk penjelasan yang sangat singkat. Tiga kasus gerakan dibawah ini nampaknya dianggap cukup mewakili bagi studi ini.

1. Gerakan Sosial Politik di Banten 1888
            Pada tahun 1872-1876 Haji Abdul Karim menyebarkan kegiatan tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Banten, dengan cara berkeliling ke pelosok-pelosok pedesaan. Karena ketekunan dan semangatnya, akhirnya ia dianggap sebagai kyai besar (agung) di daerah ini dan mendapat gelar Kiyai Agung, disamping dianggap sebagi wali Allah, karena banyaknya karomah yang dimilikinya. Sekitar empat tahun ia berdomisili di Banten, akhirnya pada tahun 1876 ia dipanggil oleh Mursyid Kamil wa Mukammil-nya, Syekh Ahmad Khatib Sambasy untuk melanjutkan menjadi pimpinan orde TQN di Makkah. Saat keberangkatannya, merupakan manifestasi dari kepopulerannya. Seluruh penduduk yang mendengar keberangkatannya, berkumpul menuju ke tempat tinggalnya, untuk melihat dari dekat dan terakhir kali dalam meminta barokah langsung darinya serta mengucapkan selamat jalan. Pada suasana yang rnengharukan para hadirin ini, ia berpesan kepada para ikhwan TQN khususnya untuk selalu minta nasehat agarna dan kehidupan politik kepada para kyai.  Kepada para murid terdekatnya terutama Khalifah dan badal, ia berpesan bahwa ia tak akan kembali ke Banten selama daerah ini masih dikuasai pihak asing (kafir) —dia hanya mau pulang ketanah murni Islam—(lihat Sartono Kartodirdjo: 1984, K. Steenbrink: 1984). Pada tahun 1884-1885, Snouck Hurgronye menghadiri pengajian Syekh Abdul Karim al-Banten di Makkah dan melaporkannya sebagai berikut:

“setiap malam ratusan orang mencari pahala, berkumpul ditempat kediamannya untuk minta diselamatkan dan belajar dzikir, mencium tangannya dan menanyakan, --if the time were at end, and how long the kafir government would continue in Java? -apakah kiamat sudah dekat dan berapa lama lagi pemerintah kafir masih akan terus berkuasa di Jawa”.

            Pada tahun 1883 kyai TB. Ismail pulang dari Makkah. Sebagai keturunan sultan  Banten ia dianggap calon wali Allah. Dengan kehadirannya ini maka dorongan untuk mendirikan kembali kesultanan-pun muncul lagi dikalangan penduduk. Tahun 1884 berlangsunglah perundingan orang-orang TQN membicarakan rencana kongkrit mengadakan pemberontakan bersenjata.  Hal ini dilakukan dirumah Haji Wasyid dipimpin kiyai TB. Ismail sendiri, dan dihadiri sekitar 300-an orang anggota tarekat. Bulan-bulan menjelang pemberontakan, merupakan suasana yang sangat sibuk di antara mereka, tidak lama setelah itu dibulan April 1888 para kiyai se-Banten berkumpul di Serang, dan memang setiap pertemuan dilakukan di rumah-rumah (pondok-pondok) pimpinan tarekat berdasarkan kesepakatan untuk melakukan ritual berjama’ah (khataman dan manaqiban).  Pada saat itu diputuskan bahwa Haji Wasid, Haji Ishaq, Haji TB. Ismail dan kyai-kyai lain —yang tidak mungkin persatu—dari distrik Cilegon dan Keramatwatu akan memimpin gerakan yang komandonya dimulai dari Cilegon (Banten barat).  Haji Muhammad Asyik dan kyai-kyai dari desa Terumbu (Banten utara). Haji Muhyiddin, Haji Abu Bakar dan kyai-kyai lainnya dari distrik Serang (Banten tengah).  Haji Marzuki, Haji Asnawi dan Haji Sadeli serta kyai-kyai lainnya bergerak dari distrik desa Undar-andir (Banten timur) .

            Tanggal 11 Syawal (Juni 1888) merupakan tanggal terpenting dari orde sufi yang satu ini, yakni hari kelahiran Syekh utama dari orde TQN, Syekh Abdul Qadir Al-Jilany--, dan kemuadian dimanfaatkan sebagai pertemuan akbar dan puncak pertarungan strategi mengatur perlawanan terhadap kolonial.  Selain TB Ismail, tokoh lainnya yang juga  rnerupakan murid istimewanya Syekh Abdul Karim di Makkah, adalah Kyai Haji Marzuki. Bahkan ia pulang pergi Jawa-Makkah tiap tahun sekedar menghubungkan anggotanya diluar Banten, Bogor, Batavia, Cirebon, bahkan Ponorogo (Surabaya) dengan pusatnya di Makkah.

            Setelah rnemimpin upacara ritus magis dan membagi-bagikan jimat kepada anggota gerakan, bahkan sebelumnya  di Masjid Agung Tanara seringkali dilakukan—ia berangkat ke Makkah hendak menyusul Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi (keduanya berasal dari Banten); untuk selanjumya diharapkan dan dipersiapkan untuk menjadi pemimpin agama bagi penduduk Banten secara menyeluruh, jika pemberontakan berhasil menaklukkan kolonial Belanda.

            Pada tanggal 9 Juli 1888 mulailah Haji Wasyid, Haji TB Ismail dan kelompok kyai lainnya melancarkan gerakan pemberontakan sambil menggemakan “Allahu Akbar”, “syahid Allah” dan lain sebagainya. Di Cilegon lasyakar jihad ini berhasil membunuh tujuh belas orang kolonial, delapan orang Belanda dan selain itu seorang jaksa, pegawai pajak, pembantu patih, dan yang lainnya. Setelah melakukan penyerbuan di Cilegon rombongan terus melakukan aksi pengejaran terhadap orang-orang kolonial ke distrik Serang. Akan tetapi dalam perjalanan di Toyomerto mereka dihadapkan oleh pasukan ekstra ketat dan tentara kolonial yang sudah terlatih dan berbekal senjata otomatis menghadangnya. Disinilah terjadi pertempuran luar biasa hebatnya, keduanya saling mengalami kerugian. Sementara dari arah timur siaga pasukan kolonial terus memantau gerakan yang dipimpin ulama TQN lainnya. Bahkan dari arah Banten utara sejak 9 Juli pasukan lasykar jihad ini terus bersiaga penuh menunggu kabar dari pasukan haji Wasyid dan Haji TB.Ismail sekahgus menunggu kosongnya distrik Serang dari pasukan kolonial, untuk melakukan koptasi. Akan tetapi, mendengar pasukan Haji Wasyid semakin terdesak —sekalipun demikian tetap melakukan gerilia ke Banten selatan—pasukan jihad di Banten utara ini terus disiagakan sampai 11 Juli, lalu akhirnya dibubarkan oleh para kyainya (Sartono; 1984: 232). Pada akhirnya, 19 Juli dengan pasukan gabungan yang dipimpin Van der Meulen yang melibatkan dari distrik Pandeglang, Caringin, dan sekitar Banten, pasukan gabungan Belanda akhirnya dapat menumpas grilya mereka. Sehingga 94 tokoh tarekat ini akhirnya diasingkan ke luar Jawa.

2. Gerakan Sosial Politik di Jawa Tengah dan Jawa Timur 1888
            Pada pertengahan 1888, sejumlah Karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur selalu disibukkan oleh  gerakan milleniari.  Tokoh monumentalnya adalah Kyai Haji Muhammad Mukhyar dan murid terdekatnya Kyai Jasmani.  Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh para kontrolir Belanda, ternyata Kyai Jasmani (muridnya Muhammad Mukhiar) telah mengumpulkan pengikut TQN di daerah-daerah yang sangat luas; diantara 50 Kyai yang bergabung dengannya berasal dari berbagai distrik seperti Banyumas, Cilacap, Magelang, Kedu, Ponorogo, Bangil dan Malang sedangkan mayoritas ikhwannya berasal dari Yogyakarta.  Mereka menyebarkan sayap politik dengan menggunakan lembaga TQN. Karena berdasarkan kontrolir Serang, 19 Mei 1889, no; 16; surat Residen Madiun 20 September 1889, LaUi dan artikel Henny (Konsul di Jeddah) mengungkapkan bahwa tokoh pemberontàkan Banten Kyai Haji Marzuki setelahnya mempropagandakan pemberontakan Banten dan kembali ke Makkah, ia menetap di Desa Warung Jayeng Kediri, untuk beberapa 1ama.  Bahkan hal ini diperkuat oleh laporan dari Ponorogo sendiri ketika terjadi pertemuan tokoh-tokoh TQN di Banten kyai-kyai dari daerah ini banyak pula yang diundang bahkan seringkali meringikuti upacara-upacara ritual yang biasa dilakukan dalam tradisi lembaga sufi ini. Bahkan ketika Syekh Abdul Karim masih berada di sana, kyai-kyai dari Ponorogo banyak berguru kepadanya. Orang-orang Banten sendiri sangat kental dengan nama daerah ini melalui sebutan pesantren “Panarangan”.

            Kyai Mukhyar yang mengambil ijazah TQN dari Syekh Abdul Karim (Sartono; 1984 :376 -cuma sayang penulis belum menemukan hirarki silsilahnya). Ia adalah guru agama dan namanya diliputi oleh alam keramat. la mahir sekali dalam berbagai cabang pengetahuan Islam, hingga ia memiliki pesantren di Sengkrong dan menyenangi hidup berkhalwat dan riyadlah. Begitupun Jasmani yang lahir di Sumowanu, Kedu; memperoleh pendidikan di berbagai pesantren di Yogyakarta, Madiun dan Kediri. Ia tinggal beberapa lama dengan Kyai Mukhyar hingga memperoleh popularitas yang sama.  Penduduk sekitarnya seringkali meminta pertolongan melalui keduanya, terutama dalam hal-hal agama. 
            Awal 1887, Kyai Mukhyar melangsungkan pernikahan anaknya, dan pada hakekatnya hal ini menjadi pertemuan besar bagi para muridnya. Semua yang datang di pertemuan ini mendengarkan ramalan; yang mengungkapkan akan datangnya kerajaan “sultan adil”. Tujuan mendirikan pemerintahan ini adalah untuk menyelamatkan penduduk dari tirani kolonialisme. Ia sendiri yang akan memangku sebagai “panembahan” (penasehat)-nya, dan yang dinobatkan sebagai Ratu Adil Agama adalah muridnya, yakni  Kyai Jasmani. Rakyat harus melangsungkan perang melawan orang-orang kafir kolonial, orang-orang Cina dan semua yang bekerjasama dengan mereka. Pada waktu bersamaan dimaksudkan pula pendirian kesultanan ini adalah untuk menegakkan kembali agama; dimana kehidupan islarni dapat terlaksana dengan baik dan sebenarnya.  Kyai Mukhyar menganjurkan kepada murid-muridnya untuk tunduk dan taat pada yang diinstruksikan Kyai Jasmani.  Teristimewa ia mendesak kepada seluruh kyai dan pengikut-pengikutnya untuk mengusahakan kekebalan tubuh, dan kepada setiap pengikut gerakan akan dibagikan jimat. Sekembalinya dari gerakan perencanaan pada setiap upacara TQN, Kyai Jasmani di Blitar juga menyebarkan gagasannya. Dengan dukungan para kyai lainnya, hingga akhirnya ia memperoleh pengikut yang sangat luas.  Mereka mempersiapkan alat-alat pemberontakan dan menentukan seragam pakaiannya. Berdasarkan kedua tokoh ini, seluruh pakaian lasykar berwarna biru dengan ikat kepala hitam yang sudah diberi kekuatan magis.  Kyai Jasmani sering membawa benda-benda yang bertulis wafak-wafak, dan akan mempelopori langsung pemberontakan terhadap kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1984; 4-5)

Sangat disayangkan sebelum Kyai Jasrnani dan Kyai Mukhyar memberikan komando perlawanan, pasukan kolonial sudah mengetahui rencana gerakan ini dan keduanya ditangkap. Akan tetapi gerakan ini telah memperoleh dukungan yang luar biasa diluar distrik Blitar, tempat kedua tokoh tersebut berada. Penguasa resmi merasa khawatir dan ketakutan terhadap gerakan radikal ini yang mengingatkan mereka pada peristiwa di Banten. Sehingga kolonial melakukan pengejaran besar-besaran dan melibatkan seluruh distrik Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ternyata anggota gerakan telah membentuk cabang-cabangnya seperti di Banyumas, Bagelan, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Ponorogo. Pembersihan terhadap komplotan-komplotan ini telah melibatkan seluruh pasukan distnk untuk menumpasnya secara serentak. Sehingga Residen Kediri dengan penuh antusias melaksanakan tugasnya menangkap pengikut Kyai Mukhyar dan Kyai Jasmani ini. Sebagai bukti tentang tindakan-tindakan yang telah diambilnya, ia akhirnya melaporkan dalam kawatnya 15 Agustus 1888 pada Gubernur jenderal di Batavia bahwa 50 kyai telah ditangkap dan 30 orang lagi tiga hari berikutnya. Sementara untuk menangkap 26 murid kedua kyai ini, Residen Kediri menyerahkan pada tiap-tiap distrik bersangkutan (lihat Sartono Kartodirdjo, 1984 : 376 dan 386). Yang jelas gerakan sufi ini di wilayah ini telah mengurus konsentrasi kewibawaan pemerintahan kolonial.

3.Gerakan Sosial Politik di Sidoarjo Surabaya 1904
            Di akhir tahun 1903, Kyai Hasan Mu’min tokoh tarekat Qodariyah-Naqsyabandiyah di desa Samantara distrik Sidoarjo, mulai bertindak sebagai tokoh yang menggerakkan massa menentang kolonial. Usahanya ke arah ini menjadikan ia diikuti oleh penduduk sebagai penjelmaan mahdi; karena memang ditunjang oleh berbagai kelebihan dalam menguasai kehidupan sufi. Beliau menghendaki kesultanan baru di Jawa ”a mission to found a new kingdom in Java…” kata para kontrolir Belanda.

    Ayahnya seorang kyai yang diasingkan kolonial dari Yogyakarta kemudian mendirikan pesantren di Pakishaji. Hasan Mu’min menghabiskan masa mudanya dibeberapa pondok pesantren; di Plotegon (Mojokerto), Kyai Haji Idris, Tiren (Mojokerto) dan pesantren Sidocerma (Surabaya). Bahkan ia sendiri pernah dididik ayahnya ke Timur Tengah, akan tetapi tidak lama ia kembali karena meneruskan pimpinan pondok pesantren ayahnya sekaligus menggantikan pimpinan orde TQN di daerah ini.  Tapi ada juga yang mengatakan ia mengambil TQN dari Kyai Muhammad Tafsir di Krapyak yang lebih dikenal sebagai Kyai Ngabdul Rusul (Lihat Sartono Kartodirdjo: 1973 : 80-93) karena menjalin hubungan dengan pesantren Krapyak ini, kerjasamanya semakin kuat dan sangat berpengaruh.  Selama pertemuan antara kedua kyai ini nampaknya telah membahas ramalan-ramalan Jayabaya yang berkembang dikalangan masyarakat jajahan; yakni ramalan millenium dibawah pemerintahan Ratu Adil, Erucokro. Dari kondisi sosial dan dari hasil-hasil pertemuan dengan para kyai TQN, memudahkan Hasan Mu’min untuk meyakinkan pada khutbah-khutbahnya, bahwa masa yang penuh ketidakadilan ini diperlukan seorang mahdi untuk memimpin jihad melawan pemerintahan kafir kolonial.  Akhirnya melalui para kyai dan pengikutnya ia didaulat sebagai pemimpin jihad dan memperoleh pengikut yang sangat banyak.

            Beberapa minggu sebelum meletus pemberontakan, persekongkolan dijalin melalui ritus-ritual persaudaraan sufi TQN. Rapat-rapat rahasia yang diadakan di desa-desa yang disepakati para anggota seperti dari desa Damari, Kure, Wagir dan Keboanpasar secara intensif sistem religio-politik akhirnya terbentuk. Keboanpasar akhirnya dipilih untuk pusat pertemuan dan  gerakan, mengingat iklim sosialnya bagi sebuah gerakan sangat memungkinkan. Disebabkan demikian karena daerah ini adalah tempat pejabat-pejabat pemerintah membuat keonaran dan kekacauan bagi penduduk.  Tempat laporan dari pihak resmi —residen Surabaya, 19 September dan 15 Oktober 1904—menyatakan, bahwa sebelum terjadi pemberontakan, Hasan Mu’min sering mengadakan pentemuan dengan wedana di Bulang, yakni Raden Jayaningrat yang rupanya agak memihak pada kyai ini.

            Hari-hari pemberontakan ini selalu ditandai dengan upacara-upacara keagamaan yang sangat besar terutama pada kegiatan-kegiatan manakiban dan khataman. Hasan Mu’min seringkali mengatakan bahwa perlawanan mereka pasti menang dan senjata-senjata kolonial akan macet. Sedangkan mereka yang mengikuti gerakan ini akan kebal terhadap peluru, sekaligus mati dalam pertempuran akan masuk surga sebagai syahid. Karena tidak perlu khawatir untuk meninggalkan anak dan istrinya. Yang jelas dalam setiap pertemuan ia selalu mempropagandakan semangat jihad untuk segera memberontak.

            Menurut rencana semula, pemberontakan akan dilakukan pada hari minggu 29 Mei atau Ahad Legi 14 Mulud, kemudian diajukan pada hari Jum’at 27 Mei, akibat semangat rakyat yang sudah tidak terkendali setelah shalat magrib. Mereka mengambil air wudlu lalu berhimpun di lapangan terbuka di sebelah utara Desa Keboanpasar, dikibarkannya panji-panji berwarna putih, biru dan putih yang dilekati kelaras (daun pisang kering) sebagai lambang kesengsaran dan kegersangan rakyat. Semalaman mereka mengadakan dzikir dan upacara ritus magis lainnya, serta pembagian jimat-jimat. Upacara ini dipimpin oleh wakilnya Kyai Haji Abdul Ghani, sekaligus ia memberikan air minum kepada pasukan dengan sebutan air zam-zam. Penduduk yang berkumpul ini rupanya berasal dan berbagai tempat, terutarna dari desa-desa yang telah disebutkan diatas.

            Pagi harinya Jum’at 27 Mei 1904, setelah shalat shubuh Hasan Mu’min kembali ke lapangan, dimana rombongan lain telah menunggu seperti Kyai Abdul Ghani, Kyai Wagir, Muhammad Hanafiyah dan para kyai lainnya. Mereka bergerak menuju pusat-pusat pejabat pemerintahan sambil mengucapkan lafadz “la ilaha illallah”.

            Setelah mendengar para pemberontak menuju pusat pemerintahan, Bupati Sidoarjo segera mengantisipasinya dengan ekspedisi militer lengakap dengan senjata sambil menunggu pasukan militer yang lebih besar dari Residen S. Di tempat inilah terjadi bentrokan fisik secara radikal dan berkecamuk. Diberitakan oleh seorang yang lolos dari amukan massa, beberapa polisi telah terbunuh terrnasuk wedana dan para lurah serta para pembantunya. Kelompok lasykar ini tidak mengindahkan samasekali peringatan-peringatan dari pasukan kolonial, dan terus-menerus melancarkan serangannya yang membabi-buta terhadap mereka-mereka yang telah direncanakannya.

            Akhirnya pasukan kolonial dapat juga mengatasi mereka radikalisme mereka dengan persenjataan lengkap, bantuan dari Karesidenan Surabaya. Menurut laporan Residen Surabaya, tanggal 10 Juni 1904 No. 189, Geh—tokoh-tokoh yang tertangkap dari lasykar jihad ini berjumlah sekitar 83 orang dan mungkin banyak yang kabur sehingga kolonial selalu mengupayakan pengejarannya.

Kolonial dan Sufi Phobia
Sekalipun pemberontakan telah ditumpas, tetapi dalam beberapa waktu pegawai-pegawai pemerintah merasa tidak aman dan takut kalau-kalau persekongkolan para haji dan kyai dengan tarekatnya ini akan mengadakan pembunuhan secara besar-besaran terhadap orang-orang kafir seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Mereka sering dikejutkan oleh kegiatan tarekat dengan cara pembantaian terhadap orang-orang kolonial dan anteks-anteks mereka. Sejak saat itu akhirnya keberadaan tarekat selalu dicurigai dan dimusuhi oleh kolonial, dan keberadaannya terus ditekan. Sekalipun demikian, sampai saat ini kehidupan para sufi terus berlanjut di manapun termasuk di kalangan masyarakat modern saat ini, karena ia merupakan kebutuhan spiritual masyarakat dan anak-anak manusia dalam mengembangkan diri; baik secara individu maupun secara kolektif (berjama’ah) dalam mengasah potensi spiritualnya. Berbagai kecaman pada akhirnya sirna dengan sendirinya, sebagaimana sirnannya para kolonial yang menekan kehidupan para sufi ini, wallahu a’lam bi shawab ***

[1] Pada tahun 1840 culture stelsel sudah menghadapai berbagai masalah.  Tanda-tanda penderitaan di kalangan orang-orang  Jawa dan Sunda sudah mulai nampak, terutama di wilayah-wilayah perkebunan tebu. Areal tanah yang semula dipakai tanaman padi, pada waktu bersamaan digunakan oleh kepentingan kolonial dengan tebu, untuk memenuhi ekspor di pasaran internasional. Hal ini mempersulit tercapainya giliran yang konstan bagi para petani.  Bahkan sekalipun ada, tanaman-tanaman tebu, selalu menguras jatah pengairan bagi tanaman padi (lihat Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa di Masa Kolonial, LP3ES, 1986.)  Akibat dari hal ini timbullah berbagai paceklik dan harga beras melonjak secara tajam tahun 1840. Tahun 1843 terjadi kelaparan hebat di Cirebon.  Wabah-wabah berjangkit sekitar tahun 1846-1849, bahkan penyakit hewan kerbau di wilayah Banten sekitar tahun 1870-an menambah kelesuan dalam dunia pertanian.  Dan akhirnya kelaparan-pun akhirnya meluas ke seluruh wilayah Jawa.   
[2] Pemberontakan-pemberontakan yang timbul dan tenggelam di jawa selama kurun 1840-1875 telah dicatat oleh E. de Wall (1876) dalam Once Indishe Financien, Niewu reeks aanteekeningen.  Sartono Kartodirjo banyak menggunakan sumber dari studinya, lihat dalam Protes Movements in Rural Java (1973). Ratu Adil (1984).  Disampng menggunakan dari berita atau laporan dari kotrolir dari tiap-tiap wilayah dimana kerusuhan terjadi.  Hampir dapat dipastikan gerakan-gerakan sebelum menggunakan tarekat-tarekat seperti yang telah disebutkan di atas, nama demokrasinya bersifat abortif tapi radik. 
[3] TQN dibangun oleh Syekh Ahmad Khotib Sambasy (asal Kalimantan) di Makkah sekitar tahun 1850-an. Kemudian dikembangkan ke seluruh pelosok nusantara oleh murid-muridnya. Syekh Abdul Karim Banten merupakan salah seorang murid Syekh Khotib Sambasy yang mengenalkannya di wilayah Banten, di Cirebon oleh Syekh Tholhah dan di Madura oleh Syekh Muhammad Kholil Bangkalan. 
[4] Mengikuti pendekatan sosiologis politik Muriece Duverger (1989 : 83-168) Menekankan pentingnya seorang peneliti mengetahui elemen-elemen kultural atau ide-ide kolektif yang dianut dalam suatu komunitas tertentu sebagai deskrifsi dalam mengungkapkan aspek-aspek kehidupan sosial.  Karena ide-ide kolektif ini dapat kita pandang sebagai  suatu krangka diman suatu penomena politk berlangsung.  Ide-ide kolektif dalam studi inidapat kita katakan sebagai ideologi masyarakat Jawa abad ke-19, karena terdiri dari keyakinan-keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir sehinga dapat mencerminkan situasi dan kondisi masyarakat jajahan.  
[5] Tradisi Magic Mystism lebih dikenal dengan ilmu kekebalan.  Kelompok sufi mayoritas mempercyainya sebagai perantara kekuatan sufranatural dengan terestorial.  Mereka membaginya menjadi magic mystism yang dapat diucapkan (do’a Wirid) dalam animisme disebut mantera dan magic mystism pada benda-benda tertentu sehingga mengandung kekuatan magic (fetish).  Secara psikologis jimat-jimat yang digunakan para pendukung gerakan dalam studi ini dirancang untuk menetralisir keunggulan senjata dan orgnisasi musuh (kolonial belanda).  Melalui jimat-jimat ini para kyai thareqat berusaha memindahkan kekuatan pelindung magic dan untuk meyakinkan para pengikutnya akan kekebalan ketika peperangan terjadi.

 Daftar Pustaka

Annimerie Schimmel, Dimensi-Dimensi  Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, 1986.

Abdul Qadir al-Jilany, al-Gunyah Litholiby Thoriqi al-Haq juz I-Il, Mustafa al-Babil halaby, 1956.

Abu Hamid al-Ghazaly, Ihya Ulumuddin juz III, Thoha Putera Semarang, it.

Amin al-Kurdy al-Naqsabandy, Tanwir al-Qulub, Daar lhya al-Qutub aI-Arobiyah, Singapura,tt.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, 1985.

Cliford Geertz, Islam Yang Saya Amati; Perkembangan di Maroko-Indonesia, LKiS, 1984.

Donald Eugene Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Rajawali Press, 1985.

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, LP3ES, 1984.

H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Pustaka Jaya, 1985.

J.S. Trimingharn, The Sufi Orders in Islam, Oxpord University Press, 1973.

Jan Breeman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa Masa Kolonial, LP3ES, 1986.

Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, 1984.

KJ. Veeger, Realitas sosial, Gramedia, 1984.

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Departemen Penerangan RI, 1966.

Marshall GS Hudgson, The Venture of Islam, Chicago University Press, 1975.

Murice Duverger, Sosiologi Politik, Rajawali press, 1989.

Michael Adam, Ratu Adil, Rajawali Pess, 1985.

Marwati Djoened, et. al, Sejarah Nasional Indonesia IV, Balai Pustaka, 1990.

Sartono Kartodirjo. Protest Movements in Rural Java, Oxpord University Press, 1973.

---------- , Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, 1984.

 ---------, Ratu Adil. Sinar Harapan, 1984.

Sayyed Hossain Nasr, The Hanqah the Spiritual Path and its Qur’anic Roots; in Ideals and Realities of Islam, Paperback, 1979.

Soejono Soekanto, Fungsionalisme Imperatif, Rajawali press, 1986.

Soedjatrnoko, An Iintroduction to Indonesian Histography, Cornell University Press, 1973.

Suhrawardi, ‘Awariful Ma’anf. al-Hamisy bi lhya Ulumiddin juz II, Toha Putera Semarang, tt.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar