Senin, 11 April 2011

TAFSIR AL-QUR'AN


PETA METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN

Oleh Asep Salahudin


Al-Quran dan Metode Tafsir

Al-Quran yang berada sekarang di tengah-tengah kita, diyakini oleh segenap kaum Muslim sama persis dengan al-Quran yang disampaikan kepada Nabi saw. Otentisitas al-Quran bukan hanya menjadi fakta keyakinan subjektif umat Islam,1 namun juga diakui kalangan orientalis walaupun mereka selalu mencari celah kelemahan-kelemahan al-Quran.

Di sisi lain, karena al-Quran tidak turun dalam ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di tengah masyarakat yang sarat nilai, tentu saja upaya agar al-Quran tetap menjadi petunjuk orang niscaya mengembangakan disiplin ilmu yang diasumsikan dapat mengungkap pesan dibalik apa yang dikehendaki al-Quran. Dari sinilah lahir tafsir yang di kemudian hari tafsir ini dilandaskan pada epistemologi yang kokoh:2 ilmu tafsir atau ‘Ulum al-Quran. Salah satu objek kajian ‘Ulum al-Quran adalah membahas aspek metode yang terbaik guna memahami ayat-ayat al-Quran.3

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan.4 Di dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti, “Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.5 Dalam ungkapan Mattulada metode adalah cara kerja untuk dapat memahami  objek yang menjadi sasaran ilmu yang dikaji. Metode juga merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting daripada filsafat, sains atau hanya mempunyai bakat.6  Pembahasan metodologi sama artinya dengan pembahasan filsafat pengetahuan atau epistemologi. Suatu ilmu pengetahuan ditentukan oleh objeknya (bukan sebaliknya), dan objek memastikan pemakaian metode.7 Karena itu, kajian-kajian terhadap aspek metodologis pada dasarnya adalah suatu sumbangan yang berharga bagi perkembangan dan kemajuan objek yang dikaji itu, termasuk al-Quran dalam aspek pemahaman dan penafsirannya. 

Betapa signifikannya metode ini, sehingga, sebagaimana dalam ilustrasi Mukti Ali,8 betapa pada abad pertengahan, Eropa menghabiskan waktu seribu tahun dalam keadaan stagnasi dan masa bodoh. Tetapi stagnasi dan masa bodoh itu  lalu menjadi kebangkitan revolusioner yang multi faset dalam bidang sains, seni, sastra dan semua wilayah hidup dan kehidupan manusia dan sosial. Revolusi yang meledak dalam pemikiran manusia itu menghasilkan  peradaban dan kebudayaan kita dewasa ini.

Ali Syariati, sebagaimana dikutip Mukti Ali, 9 menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan stagnasi dalam pemikiran, peradaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad-abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi dari Aristoteles. Di kala cara melihat obyek itu berubah, maka sains, masyarakat  juga berubah. Kita di sini menganggap, bahwa perubahan metodolgi adalah  faktor yang fundamental dalam  Renaisans.

Di sinilah metode yang tepat merupakan masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan termasuk didalamnya adalah pengetahuan keagamaan. Karena kita percaya kepada al-Quran, maka umat Islam berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang tafsir al-Quran itu dan mencari metode yang paling tepat untuk  memahaminya.

Kaitannya dengan studi tafsir al-Quran, maka metode adalah, “Suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad saw.”10

Sudah barang tentu berbicara ihwal metode penafsiran al-Quran adalah berbicara tentang sejumlah fakta keberagaman metode yang digunakan oleh kaum mufasir dari berbagai generasi. Setiap metode diyakini betul oleh sang penafsir sebagai ‘cara kerja’ yang  dapat mengungkap apa sesungguhnya makna tersembunyi di balik teks al-Quran 

Tentu saja harus lekas ditegaskan pula bahwa karena metode merupakan cermin pergulatan  mufasir dengan zamanya, boleh jadi metode itu di belakang hari dianggap sudah sangat tidak relevan lagi,  kemudian seorang mufasir baru dengan zaman yang berbeda pun menawarkan metode lagi yang dianggap lebih menjanjikan, dan begitu seterusnya. Itulah sirkulasi dialektis sebuah tafsir (hermeneutika) yang di dalamnya melibatkan kecermatan penulis (penafsir dengan seperangkat instrumen metodologisnya), teks (al-Quran) dan pembaca diiringi sebuah pengandaian bahwa metode yang dikukuhinya  akan kian meneguhkan posisi al-Quran sebagai kitab yang --meminjam istilah Syahrur-- shalihun likulli zaman wa makan.11 Dalam ungkapan Quraish Shihab,12 bahwa keinginan untuk memahami petunjuk-petunjuk dan mukjizat-mukjizat telah mengantar lahirnya sekian disiplin ilmu keislaman serta mengembangkan metode-metode penelitiannya, di mulai dengan lahirnya kaidah-kaidah bahasa Arab oleh Abu Aswad al-Dhuali atas petunjuk Ali bin Abi Thalib (w. 661 M) sampai dengan lahirnya Ushul al-Fiqh oleh al-Syafi’i (767-820 M), bahkan hingga kini dengan lahirnya berbagai metode penelitian al-Quran yang terakhir yaitu metode tematik (maudlu’i). Hal yang sama juga dikatakan Abd al-Hayy al-Farmawi, “Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir”.13

Persyaratan Mufassir

Di samping itu, karena tafsir berhubungan erat  dengan upaya bagaimana cara memahami ayat-ayat al-Quran, maka ulama biasanya bukan hanya mengedepankan ketepatan metode namun juga  sebagai sebuah sikap kehati-hatian mereka mencantumkan beberapa persyaratan  yang dilekatkan bagi mereka yang memiliki niat mulia untuk menafsirkan al-Quran. Persyaratan dimaksud, kalau kita telusuri hampir selalu dibubuhkan dalam setiap kajian ‘Ulum al-Quran dan nampaknya dalam rentang waktu yang cukup lama hampir menjadi kesepakatan tak tertulis, atau mungkin diam-diam  tersakralkan, 14  yakni:

Pertama, memiliki itikad yang benar dan memenuhi segala ajaran agama. Kedua, mempunyai tujuan yang benar. Ketiga, seorang penafsir seyogyanya hanya berpegang  kepada dalil naql dari Nabi saw, dari sahabat, dan orang-orang yang hidup sezaman dengan mereka, serta harus menghindari segala sesutu yang tergolong bid’ah. Keempat, seorang mufasir harus menguasai ilmu-ilmu yang semestinya diperlukan oleh penafsir, yaitu, seperti dikatakan al-Suyuthi ada lima belas macam ilmu: 1) ilmu bahasa Arab; 2) ilmu nahw; 3) ilmu tashrif; 4) ilmu istiqaq (ilmu asal-usul kosakata): 5) ilmu al-ma’ani; 6) ilmu bayan; 7) ilmu badi’: dengan ilmu ini segi-segi keindahan kalimat dapat diketahui; 8) ilmu qira’at; 9) ilmu ushul al-din; 10) ilmu ushul al-fiqh; 11) ilmu asbab al-nuzul; 12) al-nasikh wa al-mansukh ;13) ilmu fiqh; 14) Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan penafsiran hal-hal yang mujmal dan mubham dan ; 15) ilmu al-mauhibnah.

Besaran persyaratan itulah yang biasanya menjadi latar seorang penafsir memiliki keberanian untuk menafsirkan al-Quran. Tentu saja, persyaratan itu di kemudian hari banyak dipertanyakan kembali karena musykilnya menentukan tolak ukur objektifitas, misalnya, bagaimana menentukan standar penilaian tingkat kesalehan religius, sepi dari pamrih dunia, dst., disamping karena persyaratan itu dibuat pada abad peretengahan maka relatif tidak memperhatikan  perkembangan ilmu-ilmu mutakhir yang justru sangat bermanfaat dalam memahami ayat al-Quran, seperti sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi,  dst. Ketatnya persyaratan juga kerap menjadi sesuatu yang menakutkan sehingga orang dikemudian hari tidak memiliki cukup kekuatan moral-inetelektual untuk menafsirkan al-Quran.

Mengangkat permasalahan metode tafsir al-Quran, nampaknya langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan kilas balik pemotretan metode tafsir al-Quran dengan meniliknya dari sudut periodisasi, kecenderungan metode dan materi penafsirannya. Tujuannya tidak lain demi memudahkan penjelasan tentang perkembangan dan pemetaan metode tafsir al-Quran. 

Sebelum hal itu, akan sangat berguna diangkat terlebih dahulu studi yang mengangkat persoalan semakna. Nampaknya, kajian terhadap sejarah metode tafsir  di kalangan kaum muslim untuk pertama kali dilakukan Imam al-Suyuthi dengan karyanya Tabaqat al-Mufassirin.15 Sayang tradisi ini  tidak diteruskan oleh generasi sesudahnya, dan sejak saat itu justru kajian di bidang ini banyak diminati kaum orientalis.

Kategorisasi Mazhab Tafsir Model Ignaz Goldziher

Adalah Ignaz Goldziher  dalam karyanya yang cukup fenomanal Die Richtungen derIslamichen Koran Auslegung atau dalam terjemahan bahasa Arab, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, yang pada zamannya dianggap cukup berhasil memetakan perkembangan metode tafsir al-Quran. Menurutnya, terdapat lima kecenderungan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu:16

1)Al-Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu penafsiran al-Quran dengan menjadikan Hadis dan pendapat (aqwal) sahabat sebagai alat bantunya; 2) At-Tafsir fi dlau’i al-aqidah (tafsir teologis-dogmatis); 3) At-Tafsir fi dhau’i al-tasawwuf al-islamy (tafsir sufistik yang sarat muatan mistikal).; 4) At-Tafsir fi dhau’i firaq al-Diniyah (tafsir sektarian) dan; 5) Al-Tafsir fi dhau’i al-tamaddun al-islamy (tafsir modernis).


Kategorisasi Mazhab Tafsir Model J.J.G. Jansen

Kategorisasi model Ignaz Goldziher ini dikemudian hari mendapatkan kritik tajam dari orientalis lain, J.J.G Jansen. Dalam desertasinya, The Interpretation of The Koran in Moderen Egypt,  Jansen menyatakan bahwa kitab Goldziher itu tidak memberikan suatu periodisasi terhadap literatur tafsir, dan melupakan banyak tafsir yang secara luas dipelajari di dunia Islam yang telah memberikan sumbangan pada kitabnya itu: yakni uraian terhadap kecenderungan  tafsir al-Quran muslim.17 Kelemahan lain, lanjut Jansen, adalah ketika ia memasukkan tafsir al-Zamakhsyari  ke dalam kategori tafsir dogmatis, padahal ia mempunyai kedudukan penting  dalam kajian tafsir karena karya filologisnya  tentang analisis sintaksis terhadap ayat-ayat al-Quran. Tetapi mengapa ia dimasukkan ke dalam tafsir dogmatis? Karena al-Zamakhsyari dipandang sebagai ulama  heterodok wakil dari mazhab Mutazilah? Mengapa ia tidak dimasukkan  ke dalam kategori tafsir  rasional, atau sektarian? Bukankah al-Zamaksyari termasuk pengikut setia mazhab Mu’tazilah? 18

Kelemahan kategorisasi yang dilakukan Goldziher, memanggil Jansen untuk menawarkan hasil penelitiannya. Dalam disertasinya itu, Jansen membagi metode tafsir ilmiah yang berkembang di Mesir menjadi tiga macam, yaitu:19 1) Tafsir ilmi; 2) Tafsir lingusitik dan filologis; 3) Tafsir praktis.

Kategorisasi Mazhab Tafsir Model al-Dzahabi

Kritikus tafsir lain, Muhammad Husain al-Dzahabi, menawarkan alternatif lain dengan memetakan perkembangan tafsir dan  metode yang digunakannya dengan bertopang pada kronologi waktunya. Dalam hal ini, ia mencatat tiga periodisasi tafsir, yaitu:20 1) . Tafsir pada masa nabi dan sahabat; 2) Tafsir pada masa tabi’in; 3) Tafsir pada masa kodifikasi.  Masa ketiga ini ditenggarai mulai muncul pada akhir pemerintahan Umayyah dan awal pemerintahan Abbasiyah. Pada masa ini tafsir mulai dibukukan dengan utuh. Dan pada masa ini pula penafsiran sangat ideologis: berisikan semangat pembelaan yang kelewat batas terhadap kelompoknya  seperti tafsir madzhab Sunni, Syi’i,  Mu’tazili, Khawarij, dst., di samping pada periode ini juga sudah mulai muncul  corak penafsiran beragam yang berangkat dari displin ilmu yang berlainan seperti tafsir shufy, tafsir fiqhy, falsafy, lughawy, ‘adabi ijtima’y, dan lain sebagainya.

Kelemahan kategorisasi yang dilakukan oleh al-Dzahabi, seperti diulas Mustaqim, antara lain, bahwa ia tidak melihat secara lebih rinci mengenai tafsir yang berkembang setelah masa kodifikasi. Padahal seyogyanya tafsir yang berkembang setelah masa kodifikasi  masih dapat dipetakan secara lebih detail.21

Kategorisasi Tafsir Mengacu kepada Waktu dan Materi

Sesungguhnya perkembangan tafsir dan metodenya dapat pula dilihat dari sudut muatan materi atau tema yang mendominasi  yang digabungkan dengan aspek waktu. Dalam hal ini dapat kita kelompokkan dalam empat tipologi. Pertama, tafsir klasik dengan muatannya yang mistis; kedua, tafsir periode pertengahan yang sarat muatan ideologis; ketiga, periode modern yang sangat terpukau oleh kemajuan ilmiah peradaban Barat dan mencoba mengadopsi perkembangan sains-ilmiah itu sebagai bagian dari penafsirannya; keempat, tafsir kontemporer yang mengembangkan kritisisme bukan hanya terhadap tradisi namun juga kepada asumsi-asumsi modernitas.

Tipologi ini pada titik tertentu, dengan objek kajian yang berbeda,  mengingatkan kita pada arus pemikiran Kuntowijoyo yang membagi epistemologi politik  sejarah Islam ke dalam tiga babakan penting: 1) utopia; 2) ideologi dan;  3) ide, 22  atau lebih jauh lagi tertumpu dalam nafas filosofis yang tempo hari diretas oleh bapak sosiologi, Auguste Comte (1798-1857) yang membagi perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahapan: 1) tahap teologis: tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disesbabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia; 2) tahap metafisis: pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia (manusia belum berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebu)t; 3) tahap positif: merupakana tahap di mana manusia telah sanggup untuk berpikir secara ilmiah yang menandai berkembangnya ilmu pengetahuan.23


1. Metode Tafsir Periode Klasik

Peride ini membentang mulai dari masa Nabi saw sampai periode munculnya kodifikasi tafsir al-Quran yang menandai periode kedua (Periode pertengahan), yakni abad I hijriah sampai II hijriah. Berikut ini akan dielaborasi lebih rinci mengenai sejarah perkembangan, karakteristik dan metode yang digunakan serta kelebihan dan kekurangannya.

Tafsir Masa Nabi saw

Pada masa ketika Nabi saw hidup, tafsir berwatak monolitik. Artinya, para sahabat menempatkan Nabi saw sebagai sosok yang memiliki ororitas mutlak untuk menafsirkan al-Quran yang tidak mereka pahami. Tafsir Nabi ini kelak dibukukan dalam bentuk hadis. Tidak ada penjelasan yang cukup memuaskan ihwal metode apa yang digunakan Nabi saw dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Nampaknya kritikus tafsir, sudah merasa puas dengan penegasan al-Quran bahwa Allah akan memberikan jaminan kepada Rasulullah untuk memelihara al-Quran dan menjelaskannya (QS. al-Qiyamah/75: 7-19, al-Nahl/16: 64, 44)

Di samping itu juga karena al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab,24 para sahabat relatif tidak mendapatkan hambatan serius dalam memahami al-Quran. Dan andaikata, ada kata-kata al-Quran yang sulit untuk dipahami, ya itu tadi, penafsiran Rasul baik dalam bentuk ucapan (qauli), perbuatan (fa’li), ataupun ketetapan (taqriri) dijadikan sebagai kata putus.   Yang menjadi persoalan, apakah Nabi menafsirkan seluruh ayat al-Quran atau hanya sebagian kecil saja. Menjawab persoalan ini  ulama berbeda pendapat. Menurut Ibn Taimiyyah, Nabi telah menafsirkan seluruh ayat al-Quran tanpa satu pun yang alpa dengan argumen ayat, “Kami turunkan kepadamu al-Quran untuk kamu jelaskan apa yang diturunkan kepada mereka” 25 Sementara al-Suyuthi justru berpendapat kebalikannya, bahwa Nabi hanya menafsirkan sebagian kecil saja ayat-ayat al-Quran.26

Kedua pendapat yang bertentangan itu oleh al-Dzahabi dikompromikan dengan mengambil jalan tengah, bahwa Rasul menjelaskan sebagian besar ayat-ayat al-Quran, seperti terhampar dalam Hadis-hadis sahih, tetapi Rasul tidak menjelaskan seluruh makna al-Quran. Sebab, demikian argumen al-Dzahabi, sebagian makna ayat al-Quran itu ada yang hanya diketahui Allah, ada yang hanya diketahui oleh kalangan Rasikhun, dan ada yang diketahui oleh kebanyakan bangsa Arab melalui pendeakatan kebahasaan.27

Tafsir Masa Para Sahabat
Metode yang berkembang di masa sahabat adalah tafsir al-Quran bi al-Quran Informasi yang global dalam satu tempat di-tafshil dalam tempat yang lain, ayat yang mutlaq dibatasi (taqyid) dalam ayat lain, atau yang am’ di-tahshish melalui ayat di tempat lain.

Langkah kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi saw. seperti dalam riwayat Ibn Abbas, ia berkata, “Ketika turun ayat, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan imannya denga kezaliman…’ (QS. al-An’am/6: 82), hal ini sangat meresahkan hati para sahabat. Mereka bertanya, ‘Siapakah di antara kita yang tidak berbuat zhalim terhadap dirinya?’ Beliau menjawab, ‘Kezaliman di sana bukanlah sebagaiman yang kamu pahami. Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan  hamba yang saleh (Luqman), ‘Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar’ (QS. Luqman/31: 13) Kezaliman di sana maknanya adalah syirk”.

Langkah ketiga, ketika para sahabat tidak menemukan penjelasan dalam ayat al-Quran tidak pula tesedia jawaban dari tafsir nabi, maka, mereka menjadikan ijtihad sebagai pintu keluarnya dengan terlebih dahulu menyelesaikannya melalui pendekatan kebahasaan. Al-Sathibi mengatakan, sebagaiamna dikutip Quraish Shihab, bahwa setelah para sahabat gagal menemukan penjelasan Nabi, mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab.28

 Tafsir Masa Tabi’in
Cara pandang tabi’in dan tabi’it al-tabi’in dalam menafsirkan al-Quran tidak jauh berbeda dengan para sahabat: mereka  masih mengandalkan metode riwayah.29 Dengan kata lain, yang dijadikan pijakan tabi’in dalam menafsirkan al-Quran tidak terlepas dari: 1) ayat-al-Quran; 2) Hadis Nabi saw; 3) pendapat para sahabat; 4) riwayat Israiliyat; dan terakhir; 5) ijtihad para tabi’in sendiri.30  Kalau kita berpendapat bahwa al-Farra (w. 207 H) merupakan orang yang pertama mendiktekan tafsrinya, Ma’ani al-Quran,31 maka dari tafsirnya kita bisa melihat bahwa faktor kebahasaan juga sangat tidak bisa terlepaskan sebagaimana yang dicontohkan mufassir generasi sahabat. Demikian pula al-Thabari (w. 310) yang dengan cerdas memadukan riwayat dengan bahasa. Dari sini semakin nampak jelas, betapa pada pertiode tabi’in metode tafsir belum jauh berbeda dengan periode sebelumnya yaitu metode bi al-riwayah yang dilengkapi dengan ijtihad  dengan banyak melibatkan kajian kebahasaan (linguistik).

Metode seperti ini, seperti ditunjukkan Quraish Shihab,32 tentu saja mengundang sisi kelebihan dan kekurangannya, Kelebihannya antara lain: 1) menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Quran; 2) memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan  pesan-pesannya; 3) mengikat mufasir dalam bingkai  teks ayat-ayat sehingga membatasinya terjebak dalam subjektifitas yang kelewat batas.

Adapun kelemahan dari metode ini adalah: 1) terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi terabaikan; 2) seringkali konteks turunya ayat tertanggalkan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah masyarakat hampa budaya.

Hanya satu perbedaan mencolok antara tafsir tabi’in dan sahabat,  yaitu tafsir masa tabi’in sudah banyak dirasuki cerita-cerita israiliyat. Hal ini sesuatu yang masuk akal, sebab pada periode ini terjadi gelombang besar peralihan masuknya Ahli Kitab ke dalam agama Islam seiring hegemoni kekuasaan Islam. Peralihan agama ini diiringi dengan proses ‘akulturasi’ budaya di mana Ahli Kitab yang telah masuk Islam membawa tradisi mereka yang kemudian diadopsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Quran. Misalnya yang diriwayatkan Abdullah ibn Saba, Ka’ab al-Akhbar, Wahb ibn Munabbih dan Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Juraij. Tafsir pada masa tabi’in juga sudah mulai cenderung menguapkan aroma pembelaah terhadap mazhab seiring dengan tabi’in yang berdiaspora ke berbagai daerah dan masing-masing membentuk kubu atau perguruan dengan simpul sosok sahabat yang ditokohkannya.33

Sementara generasi ketiga kaum muslim (tabi’it tabi’in), dalam metode tafsir tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (tabi’in) sebagaimana yang dilakukan  oleh Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-Bashri (w. 205 H), Abdurrazak bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), Abd bin Hamid (w. 249 H), dan lain-lain.34

2. Metode Tafsir Periode Pertengahan
Periode ini dimulai pada akhir dinasti Umayah dan awal dinasti Abbasiyah. Kalau pada periode-periode sebelumnya para mufasir tidak mengawetkan gagasan tafsirnya dalam bentuk kitab karena budaya oral masih dominan sehingga tidak ada satu tafsir pun yang sampai kepada kita kecuali hanya nukilan-nukilan saja. Pada periode ini, proses pembukuan tafsir   sudah mulai diretas dan bahkan banyak bermunculan produk penafsiran yang benar-benar sistematis, tidak berbaur dengan hadis, dan sampai ke tangan kita dalam wujud kitab tafsir yang utuh sebagaimana  terdokumantasikan dalam karya Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin al-Munzir al-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu al-Syaikh ibn Hibban (w. 369 H), dan al-Hakim (w. 405 H).            Karena tafsir merupaka ekspresi intelektual mufasir yang merefleksikan  semangat zamannya, sesuai dengan karakteristik periode ini, maka metode tafsir pun tidak terlepas dari raut abad pertengahan.

Sebagaimana dicatat sejarah, periode pertengahan merupakan masa keemasan peradaban Islam. Abbasiyah benar-benar menampilkan dirinya sebagai daulah yang sangat menghormati harkat pengetahuan. Penelitian, penerjemahan, pendirian lembaga pendidikan dan perpusatkaan yang berwibawa sangat diperhatikan. Pada masa ini pula, berkembang pesat pengetahuan dalam berbagai displinnya: fikih, teologi, filsafat, tasawuf, bahasa, dst. 

Tentu saja pematangan beragam pengetahuan itu lahir dari proses dialog intens antar berbagai kelompok ilmuan (ulama) bahkan  tidak segan-segan kalau perlu dengan mendeskriditkan lawannya  malah tidak sedikit pula, akibat mempertahankan pendapatnya dengan kokoh,  berujung pada, bukan hanya kekerasan wacana namun kekerasan fisik sebagaimana terekam dalam tragedi yang sangat tragis: mihnah (inkuisisi).  Dan biasanya tragedi seperti ini mencuat, salah satu pemicunya adalah ketika salah satu madzhab pemikiran  diresmikan oleh penguasa sebagai   ideologi negara dengan sebuah pengandaian bahwa mazhab yang tidak sepaham disikapi sebagai ancaman yang harus lekas dilenyapkan.  Di samping itu juga kita disuguhi pemandangan perseteruan laten antara fuqaha dengan kaum sufi, fuqaha dengan filosuf, antar fuqaha sendiri yang berbeda madzhab, atau antar mutakallimin.

Latar seperti ini pada titik tertentu juga mengimbas dalam lapangan tafsir al-Quran. Tafsir hadir dalam bentuknya yang sangat ideologikal: ditulis di bawah bayang-bayang niat melegitimasi segenap ajaran dan  sepak terjang madzhabnya seraya pada saat yang bersamaan memproduksi argumen-argumen yang diyakini akan efektif  mematahkan lawannya.  Tafsir pun menjadi sebuah sistem makna yang penuh dengan luapan emosi pengukuhkan ‘sang aku’ sekaligus meruntuhkan ‘mereka’.

Di samping berwatak sektarian, seiring dengan berkembangnya disiplin ilmu yang beragam, tidak ketinggalan pula tafsir dimanfaatkan untuk menjadi ‘kuda tunggangan’ atas beragam ilmu itu, sehingga kita pun mengenal tafsir dengan pendekatan yang      bebeda    dengan        segala kekurangan dan kelebihannya: tafsir shufy,35  tafsir falsafy,36        tafsir ‘ilmy,37    tafsir fiqhy,38

 tafsir teologis (tafsir itiqady),39 tafsir bahasa (tafsir lughawy).40
Dari sini nampak jelas, bahwa tafsir periode pertengahan yang ditandai dengan adanya pembukuan tafsir, dan bertepatan dengan masa keemasan peradaban Islam, tampil dengan rupa yang tidak tunggal. Metode yang digunakannya pun tidak satu. Tafsir membentang mulai dari yang memberikan porsi maksimal bagi nalar (tafsir falsafy, kalam), pekat dengan makna mistikal (tafsir shufy) tafsir yang suntuk dengan kajiaan kebahasaan (lughawy), sarat dengan argumen riwayat/bi al-ma’tsur yang berkaitan dengan upaya menampilkan teks-teks hukum (tafsir fiqhy), dan atau kehendak apologetik untuk menjustifikasi bahwa penemuan sain-ilmiah adalah sesuatu yang sesungguhnya jawabannya telah tersedia dalam al-Quran sehingga ayat-ayat al-Quran merasa wajib ditakar dalam tendensi-tendensi ilmiah (tafsir ‘ilmy). Satu hal yang perlu dicatat bahwa semua tafsir itu begitu kental sisi fanatisme kelompoknya sehingga relatif intoleran terhadap tafsir yang berbeda.

Kenyataan terakhir itulah yang merupkan salah satu pemicu lahirnya genre tafsir modern. Sebuah keprihatinan mendalam melihat tafsir al-Quran ditarik dalam kepentingan-kepentingan madzhab. Salah satu tema besar tafsir modern adalah bagaimana memposisikan al-Quran dalam fungsinya sebagai petunjuk bagi umat manusia seperti tercantum dalam maklumat Muhammad Abduh yang sering dinobatkan sebagai peletak batu pertama aliran tafsir modern.

3. Metode Tafsir Periode Modern
Perjumpaan Islam dengan modernitas telah berlangsung sekitar dua abad. Banyak tanggapan diberikan. Seorang ahli sejarah kenamaan Arnold Toynbee,41 mengatakan bahwa modernitas telah dimulai menjelang akhir abad ke-15 Masehi, ketika orang Barat, “Berterimakasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi kungkungan Kristen Abad Pertengahan.” Menurut Mohmmad Arkoun istilah modernitas --berasal dari bahasa latin modernus-- pertama kali dipakai di dunia Kristen pada masa antara tahun 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi.42 Modernitas masa klasik Eropa sendiri telah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950-an.

Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat mata rantai yang tidak terputus --atau boleh dikatakan kelanjutan-- antara modernitas dengan kemajuan di masa lalu: Masa Kuno (Yunani-Romawi) dan masa Abad Pertengahan (yang bertepatan dengan zaman keemasan Islam). Karena itu, meminjam penjelasan Arkoun, modernitas itu tidak terputus dari kemajuan yang pernah ada di lingkungan Yunani-Semit. Antara Abad ke-7 dan ke-12 terdapat kemajuan pesat di dunia Islam yang tidak lepas dari pengaruh Yunani melalui Hellenisme. Kemajuan tersebut kemudian ‘pindah’ ke dunia Kristen pada abad ke 12 hingga 15 (zaman kejayaan Skolastik) dengan pemikir seperti Albertus Agung, Thomas Aquinas, Bonaventura, dan sebagainya.43 Kesinambungan peradaban manusia ini juga dinyatakan oleh ahli semacam Hodgson.

Sementara itu kalau kita melakukan napak tilas terhadap jejak-jejak sejarah Islam di sana nampak bahwa pada abad ke-9 Hijriyah, bertepatan dengan abad ke-19 Masehi, kekhalifahan Utsmani telah menguasai sebagian besar Dunia Islam. Kemudian pada abad ke 10 Hijriyah, atau abad ke-16 Masehi, ia telah berhasil secara utuh mempersatukan negara-negara Arab ke dalam kekuasaannya, sehingga kekuasaannya berkembang menjadi besar.Bersatulah dalam satu wilayah politik besar kekhalifahan Utsmani beberapa kepulauan Anatolia, Irak, Syam, Mesir, Hijaz, Yaman dan beberapa wilayah di pantai  Timur Afrika.

Khalifah Utsmani, sebagaimana dicatat Taqiyuddin an-Nabhani,44 ketika itu lebih memperhatikan ketangguhan kekusaannya dan mengabaikan Islam sebagai sebuah peradaban yang dikonstruksi dari dialektika pikiran-pikiran.

Akibatnya, kekhalifahan Utsmani secara fisik tampak kuat, namun esensinya rapuh, karena rendahnya infrastruktur kognitif. Hanya sayang, kelemahan ini tidak pernah terperhatikan oleh negara. Sebab ia masih terus disibukan oleh pesona kebesaran, kegemerlapan, kekuatan militer dan syahwat serba material lainnya.

Pemandangan dunia Barat yang maju pesat (terutama pasca abad pencerahan atau aufklarung yang menandai tonggak modernisme-postivistik itu),45 justru situasinya berbanding terbalik secara diametral dengan dunia Muslim. Barat yang tempo hari dicengkram kegelapan semakin pesat jauh melaju meninggalkan muslim yang kian terpuruk mengenaskan padahal pada abad pertengahan sempat menjadi kiblat peradaban. Bahkan pada titik tertentu berkat kemajuannya Barat dengan sempurna telah berhasil menjadikan negara Muslim yang lemah itu tercerai berai nyaris tanpa perlawanan yang berarti dan pada gilirannya dianeksasi sebagai wilayah kolonial.

Di ambang batas ketakberdayaan orang-orang Islam inilah, lahir para pembaharu muslim yang dengan heroik menyuntikkan kesadaran kepada umat untuk menginsyafi ketertinggalannya dari  Barat yang telah ditahbiskannya sebagai sebuah dunia yang maju. Salah satu tema penting yang diangkat oleh kaum pembaharu itu adalah bahwa kemajuan itu hanya bisa diraih manakala kita (kaum Muslim) selekas mungkin mengadopsi ‘cara berpikir’ orang Barat. Banyak sudah tokoh pembaharu yang mengusung obsesi menyelaraskan modernisme dengan Islam.

Setiap pembaharu, kalau kita perhatikan dengan seksama, hampir selalu mempunyai perhatian yang besar terhadap tafsir al-Quran. Mereka sadar bahwa al-Quran memiliki posisi yang istimewa bagi kaum muslim. Kemajuan hanya bisa dimulai dengan terlebih dahulu berupaya menyegarkan kembali pemahaman terhadap kitab sucinya. Di sinilah kita dengan utuh dapat menempatkan posisi tafsir modern dengan Abduh sebagai tonggak utamanya.

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, tafsir al-Quran pada periode modern ini tidak lagi ditarik dalam kutub kepentingan-kepentingan mazhab, namun dibiarakan al-Quran menjadi sumber hidayah bagi segenap manusia. Oleh karenanya penafsiran yang cenderung bertele-tele digantikan dengan penafsiran yang praktis, susunan  kalimat yang komunikatif, dan banyak memperhatikan persoalan-persoalan sehari-hari yang tengah menimpa masyarakat. Inilah sebuah penafsiran yang kelak oleh kritikus tafsir ditenggarai sebagai embrio lahirnya tafsir dengan metode adab ijtimai’.46 Yakni, sebagaimana didefinisikan al-Dzahabi,  tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk al-Quran bagi kehidupan serta menghubungkan  pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yanga sangat dibutuhkan.47

Di sisi lain, karena periode modernitas ini ditandai dengan keterpurukan peradaban dunia Muslim, di mana salah satu musabab intrenalnya adalah terjebaknya mayoritas Muslim dalam pola pikir yang mistis yang acapkali di legitimasi riwayat-riwayat yang tidak jelas asal-usulnya, maka  tafsir pada periode ini pun sarat dengan penafsiran yang rasional karena digunakannya pola bi al-rayi dalam menafsirkan ayat al-Quran dalam kapasitas yang besar biarpun pada titik tertentu harus mengorbankan hadis sahih ketika hadis itu dipandang bertabrakan dengan nalar. Tradisi diposisikan sebagai sang terdakwa dari kondisi peradaban muslim yang berada di titik nadir.   

Di samping itu, kemajuan dunia Barat yang luar biasa pesatnya terutama capaian sain dan tekhnologinya, telah mengilhami mufasir modernis untuk menafsirkan al-Quran diselaraskan dengan kaidah dan penemuan ilmiah. Islamisasi ilmu pengetahuan dianggap sebagai hal mendesak yang harus dijadikan agenda utama perjuangan umat Islam demi melampaui ketertinggalan, dan salah satu jalan ke arah itu tidak lain adalah penafsiran al-Quran dalam terang tendensi ilmiah.48 Dalam khazanah tafsir ilmi, karya yang paling mencolok adalah tafsir al-Jawahir, karya Tantawi Jauhari, tafsir yang menghabiskan banyak halaman sarat dengan pengadopsian penemuan-penemuan  ilmu alam mutakhir.

Itulah arus utama metode dan karakteristik  tafsir modern. Atau dalam ungkapan juru bicara mufasir kaum modernis, Abduh sendiri, bahwa sebuah tafsir dikatakan ideal manakala memenuhi persyaratan sebagai berikut:49

  1. Mufasir memahami esensi lafadz-lafadz yang di bawa al-Quran secara jelas. Hal ini dapat diketahui melalui pendekatan kebahasaan.
  2. Memahami uslub al-Quran.
  3. Menguasi ilmu yang berkaitan dengan hal ihwal manusia seperti sosiologi, dasar-dasar fisika, astronomi, kosmologi dan sebagainya.
  4. Mengetahui petunjuk al-Quran bagi manusia dengan jalan mengetahui pola hidup masyarakat Arab sebelum dan sesudah turun al-Quran.
  5. Memahami sirah Nabi dan para sahabat baik yang berkaitan dengan keduniaan atau eskatologis.

Tema dan metodologi tafsir seperti itu yang menjadi perhatian utama Abduh dan Rasyid Ridla yang, sekali lagi,  dicatat sejarah sebagai tonggak pertama tafsir modern. Betapa besar pengaruh gagasan-gagasan yang dihembuskan al-Manar sehingga seringkali dalam sebuah kawasan mengilhami lahirnya gerakan Islam modern. Al-Manar pada masanya menjadi kiblat pemikiran Islam, sangat auratik, penuh pesona dan menyimpan magma magnetude yang ulasan-ulasannya selalu ditunggu sidang pembaca, tentu saja dengan sikap pro dan kontra.

Keberhasilan tafsir modern yang mampu keluar dari bayang-bayang periode tafsir sebelumnya seperti itu, tidak berarti dengan serta merta pergerakan tafsir pun berhenti.  Di belakang hari tafsir modern pun dipertanyakan kembali terutama sikapnya yang terlampau kritis terhadap tradisi namun sikap yang sama tidak begitu nampak ketika berhadapan dengan modernitas yang lahir dari rahim Barat. Gugatan inilah yang menandai lahirnya babakan baru dalam tradisi tafsir  al-Quran: periode kontemporer.

4. Metode Tafsir Periode Kontemporer

Istilah ‘kontemporer’ biasanya merujuk pada dimensi waktu yang tengah berlangsung. Dalam konteks tafsir, kontemporer berkorespondensi dengan situasi tafsir dan mufasir kekinian.

Kalau kita meneliti tafsir modern dengan pelopornya Muhmmad Abduh, maka nampak jelas kebanyakan masih menggunakan tahilili,50 sedangkan pada masa kontemporer metode itu sudah banyak ditinggalan, beralih kepada maudlu’i’.  

Diminatinya metode maudlu’i oleh kalangan mufasir kontemporer tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa metode ini lebih mampu menyampaikan pesan al-Quran secara lebih utuh, ayat-ayat al-Quran dapat diposisikan sebagai satu kesatuan integral, dapat mengeliminasi pemaksaan  pra konsepsi terhadap ayat-ayat al-Quran, di samping metode ini juga lebih praktis, dan dapat menjawab problem tertentu yang tejadi di tengah masyarakat tanpa kehilangan sisi kedalaman penafsiran al-Quran.

Adalah al-Farmawi yang dengan jernih  pertama kali memetakan langkah-langkah operasional dalam penafsiran dengan menggunakan metode maudlu’i..51 Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah al-Insan fi al-Quran dan al-Mar’ah fi al-Quran (Mahmud Abbas al-‘Aqqad), al-Riba fi al-Qur’an (al-Maududi), al-‘Aqidah min al-Quran (Abu Zahrah), al-Washaya al-Ashr (Mahmud Syalthuth), Major Themes of The Quran (Fazlur Rahman), dsb.

Tentu saja, walaupun menggunakan metode maudl’ui antara mufasir kontemporer satu dengan yang lainnya, sebagaimana peta tafsir modern, memiliki tekanan metodologis yang berlainan. Hal inilah yang merupakan satu kerumitan tersendiri dalam membedah atlas tafsir kontemporer, sebagaimana nampak dari metode yang ditawarkan yang membentang mulai dari Fazlur Rahman,52                                              Arkoun,53 Hassan Hanafi,54 Syahrur,55 Aisyah bint Syathi,56 Nasr Hamid Abu Zaid,57 dsb. Namun demikian, nampaknya, ada satu satu titik singgung yang bisa ditarik yang mempersamakan mufassir kontemporer satu sama lain dan ‘kalimut sawa’ ini nampaknya tegak lurus dengan platform yang tempo hari dicanangkan Abduh. Yakni kehendak menempatkan al-Quran sebagai petunjuk manusia dengan lebih melihat kaidah al-ibrah bi maqashid al-syari’ah. Sebuah kaidah baru yang melampaui  kerigidan kaidah tafsir konvensianal yang senantiasa mempertentangakan antara kutub yang berpegang pada al-ibrah bi ‘umum al-lafdz la bi khushush al-sabab dengan kubu yang berpegang pada kaidah al-ibrah bi khusush al-sabab  la bi ‘umum al-lafdz yang telah menyebabkan tafsir tersendara oleh kepentingan-kepentingan madzhab, terjebak sistem pemaknaan yang mistikal,  dan atau terkerangkeng  dalam pembahasan yang bertele-tele yang nyata-nyata tidak bersentuhan dengan problem sejarah pengalaman kemanusiaan  sehari-hari.


1 QS. al-Hijr/15: 9 biasanya dijadikan sebagai basis legitimasi teologis klaim keotentikan al-Quran.  Sudah barangtentu  keterjagaan otentisitas al-Quran ini dalam prakteknya melibatkan intervensi manusia (umat Islam) seperti usaha kreatif  para sahabat memindahkan al-Quran yang sebermula mengendap dalam pikiran (hapalan) ke dalam tulisan yang kemudian pada masa khalifah Ustman diambil sebuah kebijakan untuk membakukan dalam sebuah mushhaf. Lebih lanjut tentang proses pembakuan  al-Quran dari ‘bahasa oral’ ke ‘bahasa tulis’ dengan menyisakan perdebatan di belakangnya, lihat penelitian berharga Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Yogyakarta, FKBA, 2001); Muhammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern, Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 43-75. 

2 Kata tafsir, sebagaimana dalam penelitian Manna al-Qaththan, secara bahasa mengikuti pola taf’il, berasal dari akar kata al-fasru, yang bearti menjelaskan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti pola dlaraba-yadlribu dan nashara yanshuru. Kata al-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menyingkap yang tertutup. Lihat Manna al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, (Kairo: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973), h. 323; Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqani, al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t.), juz I, h. 3. Dalam Lisan al-‘Arab dinyatakan, kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang pelik. Lihat Ibn al-Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Bairut: Dar Shadir, t.t.,), h. 89.

3 Dalam perkembangan mutakhir hemeneutika kerap ditahbiskan sebagai metode yang dapat menangkap makna yang terkandung bahkan yang tersembunyi di balik teks. Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk manafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu  yang diperlakukan sebagai teks  untuk dicari maknanya, di mana metode hermeneutika ini mensyaratkan adanya kemampuan menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa sekarang. Lihat Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 85. Istilah hermeneutika dalam pengertian sebagai ‘ilmu tafsir’ muncul pada sekitar abad ke 17, di mana istilah ini bisa dipahami dalam dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologi penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Dalam ungkapan Carl Brathen, hermeneutika adalah “Ilmu yang merefleksikan bagaimana  satu kata atau satu peristiwa  di masa dan kondisi yang lalu  bisa dipahami dan menjadi bermakna  secara nyata di masa kini  di mana didalamnya sekaligus terkandung aturan-aturan metodologisnya  untuk diaplikasikan dalam penafsiran  dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.” Lihat Fakhruddin Faiz, Hermeneutika al-Quran: Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2002), h. 10.

4 Fuad Hassan dan Koentjaraningrat, “Beberapa Asas Metode Ilmiah” dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat”, Koentjaraningrat  (editor), (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16.

5 Tim Penyusun, KamusBesar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 580-581; Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 649.

6  Lihat Mattulada, “Studi Islam Kontemporer: Sintesis  Pendekatan Sosiologi dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan” dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (editor),   Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana,  1989), h.4.

7 Ibid.

8 Lihat Mukti Ali, “ Metodologi Ilmu Agama Islam,” dalam Taufik  Abdullah dan Rusli Karim (editor)., ibid., h. 44-45

9 Ibid.
10 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran: Kajian Kritis Terhadap ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 55.
11    Lihat Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’asharah (Damaskus: Ahali li al-Nasyr wa al-Tauzi, 1992), h. 33.

12    Lihat Quraish Shihab, Membumikan  al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994).

13 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), h. 65

14 Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1979), juz II, h. 175 ; Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, (Kairo: Isa al-Babiy al-Halabi, 1957), juz II, h. 152. 
15 Seperti dikatakan Muhammad  Arkoun, bahwa al-Suyuthi dalam tradisi studi ilmu al-Quran memiliki tempat yang sangat istimewa karena dia dengan cemerlang telah berhasil mengerahkan segenap kemampuan intelektual skolastisnya dalam memapankan disiplin Ulum al-Quran, sehingga genarsi selanjunya relatif hanya mengulang-ngulang tema  kajian yang telah dibangun al-Suyuthi yang nyaris tanpa sikap kritis. Lihat Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Quran, pent. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), h. 141. 

16 Lihat Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, pent. Ali Hasan Abd al-Qadir, (Mesir: Maktabah al-Khaniji, 1955), h. 15
17 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran Modern, pent.. Hairussalim dan Syarif Hidayat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1997), h. 8. Lih. Abdul Mustaqim, Mazahib at-Tafsir (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003). 

18 Ibid., h. 9

19Lihat Ibid., h. 27-125

20 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), h. 97-130.
21 Lihat Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. 29. 

22 Lihat Kuntowijoyo, Dinamkina Sejarah Umat Islam Indoensia, (Yogyakarta: Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), h. 1001-1002. lihat juga penjelasan yang lebih elaboratif tentang tiga tahapan itu, karakteristik dan kecenderungan metodologi yang dipakai dalam  bukunya yang lain, Identitas Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1997).

23 Lebih jauh lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 443-445.

24 Lihat QS. Ibrahim/14: 4, QS. Yusuf/12: 2, QS. al-Syu’ara/26: 192-195. 

25 Lihat Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, (Kuwait: Dar al-Kalam, t.t.), h. 35.

26 Lihat al-Suyuthi, op cit., juz II, h. 78.

27 al-Dzahabi, op. cit., juz I,  h. 53.  Proposisi al-Dzahabi ini kelihatannya sejalan dengan apa yang diungkapakan oleh Ibn Abbas bahwa tafsir itu ada empat macam:  Ada yang dapat dipahami bangsa Arab dengan pendekatan bahasa, ada tafsir yang dimaafkan seseorang karena terlanjur tidak memahaminya, ada tafsir yang dipahami hanya oleh kalangan rasikhun (ulama tercerahkan), dan ada tafsir yang hanya Allah saja yang memahami maksudnya. Lih. al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.),  juz I, hlm. 25. Dalam kaitannya dengan masalah ini Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip al-Suyuthi, berkata, “al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab menurut uslub-uslub balaghah-nya. Karena itu semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosakata maupun susunan kalimatnya. Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang di antara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.” Lihat al-Suyuthi, op. cit., juz II,  h. 113.
28 Quraish Shihab, Membumikan al-Quran… op. cit., h. 84

29 al-Dzahabi, op. cit.,jilid I,  h. 99

30 Keterdesakkan tabi’in untuk menafsirkan al-Quran melalui pintu ijtihad ini dilatarbelakangi adanya beberapa faktor: 1) penafsiran yang dilakukan sahabat tidak mencakup seluruh ayat al-Quran; 2) terpencarnya para rabi’in ke berbagai daerah dengan corak penafsiran nyang berbeda, sebagai akibat dari penafsiran yang berbeda yang mereka terima dari para sahabat sebelumnya. Lihat al-Dzahabi, jilid I, ibid., h 99-100

31 Quraish Shihab, op. cit., h. 85

32 Ibid.
33 Perguruan tafsir tab’in yang terkenal menyebar di tiga tempat, seperti dipetakan Mann al-Qaththan, yakni: Pertama, di Mekkah berdiri perguruan Ibn Abbas, di antara muridnya yang terkenal adalah Said ibn Jubair (w. 94 H), Mujahid (w. 103 H), Ikrimah maula Ibn Abbas (w. 105 H), Thawus bin Kaisan al-Yamani (w. 106 H) dan Atha bin Abi Rabah (w. 14 H); kedua, di Irak dengan menobatkan sahabat Ibn Masud sebagai gurunya, dan murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah ibn al-Qais (w. 102 H); 2) al-Aswad ibn Yazid (w. 75 H); 3) Ibrahim al-Nakha’i (w. 95 H), al-Sya’bi (05 H); ketiga perguruan sahabat Ubai ibn Ka’ab yang berlokasi di Madinah dengan murid-muridnya: Abdurrahman ibn Zaid (w. 182 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Hasan al-Bashri (w. 121 H), Atha ibn Abi Muslim al-Hurani (w. 135 H), Abu al-Aliayah Rafi’ Ibn Mihram al-Royahi (w. 90 H), al-Dahhak ibn Muzahim (w. 105 H), Athiyah ibn Said al-Aufi (w. 111 H), Qatadah bin Diamah al-Sadusi (w. 117 H), dan lain sebagainya. Lihat Mann al-Qaththan, op. cit., h.  337-339; lih.  al-Dzahabi, op. cit., jilid I, h. 99-101.

34    Lihat. al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran,  (Mesir: al-Halabi, 957), jilid II, hlm. 159-160.
35 Tafsir shufy adalah menafsirkan al-Quran sebagai sarana untuk melegitimasi praktik-praktik sufime dalam sejarah Islam. Karena sufisme ini erat kaitannya dengan dimensi suasana kebathinan dalam penghayatan pengalaman keagamaan, maka tafsir al-Qurannya pun lebih menekankan makna batin ayat ketimbang berhenti sebatas lahir ayat, dan untuk itu digunakan pendekatan metaforis (isyari). Teoritisasi praktek-parktek asketisme-mistisisme ini mencapai puncaknya dalam tafsir karya seorang sufi terkemuka, Ibn Arabi, dalam kitabnya Tafsir al-Quran al-Hakim. Lihat al-Dzahabi, op. cit., juz  II, h. 56  Di antara kitab tafsir lain yang mempunyai kecenderungan sufistik adalah Tafsir al-Quran al-Azhim (Imam al-Tusturi), Haqaiq al-Tafsir (al-Allamah al-Sulami), ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran (Imam al-Syirazi).

36 Tafsir falsafy ini berkembang seiring dengan kontak Islam dengan peradaban Yunani (hellenisme) yang ditandai dengan menjamurnya penerjemahan filsafat-filsafat Yunani dengan implikasi intelektualisme susulan: yang menolak dan menerima. Tafsir Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi sering disebut-sebut sebagai tafsir dalam kelompok ini.

37 Tafsir ‘ilmy adalah tafsir yang bergerak dengan sebuah asumsi dasar bahwa al-Quran mencakup segala hal hatta tentang persoalan teori ilmiah baik yang sudah ataupun belum ditemukan. Seperti dalam penelitian Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, bahwa tafsir yang bertendensi ilmiah ini bertitik tolak dari zaman Abbasiyah terus berlangsung sampai sekarang hingga menggurita di akhir abad ke-19 karena terjadinya ketertinggalan kaum Muslim dalam bidang sains dan tekhnologi, sebaliknya Barat mengalami kemajuan pesat dalam kedua bidang ini. Lih. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Ashr al-Rahin, (Bairut: Dar al-Bayariq, 1982), hlm. 5.  Akar-akar lama visi dan paradigma tafsir ilmiah ini bisa kita cermati dalam al-Ghajali, Jawahir al-Qur’an, (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1964), h. 21-31 Laiknya tafsir sufi dan falsafi, tafsir ini pun mengundang sikap pro-kontra di belakangnya.

38 Tafsir fiqhy adalah tafsir yang dibangun dengan menempatkan fiqh (hukum Islam) sebagai  basis penafsirannya. Di antara kitab-kitab tafsir fiqhy adalah: Ahkam al-Quran (al-Jashshsas), Ahkam al-Quran (Ibn al-‘Arabi), dan al-Jami’ li Ahkam al-Quran (al-Qurthubi).

39Tafsir itiqady adalah ikhtiar menafsirkan al-Quran dari sudut pandang teologi. Di sini seorang teolog-mufasir  bekerja dengan sebuah latar pemikiran bagaimana ayat-ayat al-Quran ditafsirkan untuk membangun jaringan makna yang dapat melegitimasi seluruh struktur teologinya. Kategori muhkam–mutasyabih acapkali dijadikan sebagai salah satu pintu masuk untuk menafsirkan al-Quran dari wawasan teologis ini. Biasanya tafsir produk mazhab Mu’tazilah, seringkali dijadikan contoh tafsir yang begitu artikulatif  muatan teologisnya. 

40 Tafsir lughawy adalah menafsirkan al-Quran dengan lebih mengkonsentrasikan pembahasan dari sudut linguistik. Salah satu kitab tafsir berharga yang dengan gemilang megelaborasi sudut lingusitik al-Quran, terlepas dari promosi teologinya, adalah karya al-Zamaksyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Mentgomeri Watt mengapresiasinya sebagai, “Suatu kitab tafsir bahasa yang ditemukan para sarjana Barat semakin bernilai…” Lihat  Montgomeri Watt, Pengantar Studi al-Quran, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), h. 266.
41 Lihat Arnold Toynbee, A Study of History, diringkaskan oleh D.D. Somervelle, (Oxford: Oxford University Press, 1957), h. 148.

42 Pendapat Arkoun tersebut dikutip dari Suadi Putro, MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Yayasam wakaf Paramadina, 1998), h. 43.

43 Ibid.

44 Lihat Taqiyuddin al-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah, (Mesir: al-Quds, t.t.), h. 132.

45 Lebih jauh ihwal potret kemajuan Barat yang mulai diretas sejak Abad Pencerahan dan warna buram peradaban Islam terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Turki, lih. Sayyed Hossen Nasr, Ideals and Realities of Islam (Bosoton: 1973) ; sementara modernisme Barat dalam telaah filsafat, lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
46 Lihat al-Farmawi, op. cit., h. 23-24.

47 al-Dzahabi, op. cit., jilid III, h. 214

48 Tendensi ilmiah yang merebak pada zaman modern dalam menafsirkan al-Quran ini berangkat dari sebuah keyakinan  bahwa al-Quran telah mengantisipasi ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sabiq al-Quran al-‘ilm al-hadits. Lih. Abdul Majid Abdussalam al-Mushtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer ((Bangil: al-Izzah, 1997). 

49 Lihat Rasyid Ridla dan Abduh, Tafsir al-Quran…, op. cit., juz I, h. 17.
50  Metode tahlili adalah metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Quran mushhaf Ustmani. Baqir al-Sadr menyebut tafsir metode tahlili ini dengan tafsir tajzi’i yang secara harfiah berarti: “Tafsir ayat-ayat al-Quran secara parsial,” Lihat Muhammmad Baqir al-Sadr, al-Madrasah al-Qur’aniyah: al-Tafsir al-Maudhu’i wa al-Tafsir al-Tajzi’i fi al-Quran al-Karim, (Bairut: Dar al-Ta’aruf al-Math-bu’at,  t.t.), h. 7-10.

51 Langkah-langkah tersebut adalah: 1) Menentukan topik bahasan; 2) menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah-masalah tersebut; 3) merangkai urutan-urutan ayat sesuai dengan masa turunnnya; 4) kajian tafsir ini merupakan kajian yang memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir tahlili, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat sepanjang yang dapat dijumpai, munasabah dan pengetahuan tentang dilalah suatu lapal dan penggunaannya; 5) menyusun pembahasan dalam suatu kerangka yang sempurna; 6) melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut masalah yang dibahas itu; 7) mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya, atau mengkompromikan antara ‘am dan khas, yang mutlaq dengan muqayyad, atau yang kelihatan kontradiktif, sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran; 8) pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa fasal, dan setiap fasal itu dibahas, kemudian ditetapkan unsur pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat pada bab, kemudian menjadikan unsur yang bersifat cabang (far’i) sebagai satu macam dari fasal. Lihat al-Farmawi, op. cit., h. 61-62

52 Fazlur Rahman adalah seorang Islamis Studies terkemuka yang dengan kritis mempertanyakan kembali ‘hubungan mesra’ antara Islam dan modernitas. Bagi Rahman, modernisme Islam itu kini telah gagal. Dalam pandangan Rahman, kegagalan modernisme Islam sesungguhnya muncul karena ketidakmampuan kaum modernis merumuskan satu pandangan dunia Islam yang koheren berikut turunan metodologisnya yang komprehensif. Artinya, selama ini kaum modernis muslim hanya terpaku pada pendekatan yang bersifat parsial dalam mengkaitkan antara Islam dengan modernitas. Akibatnya yang muncul adalah percikan pemikiran  yang bukan saja artifisial, melainkan juga tidak berakar dalam khazanah tradisi Islam itu sendiri. Wajar saja kalau kemudian ia memicu gerakan antitesisnya, yakni revivalisme Islam, yang secara kuat mengayunkan kembali pendulum sejarah kepada Islam awal secara harfiyah. Lebih jauh lihat Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). Lih. Jurnal Islamika (Jakarta: MISSI, 1993) yang mengupas tuntas kritik tajam Fazlur Rahman terhadap modernisme. Keyakinan akan keniscayaan metode yang komprehensif ini yang pada gilirannya Rahman merasa terpanggil untuk memformulasikan suatu metodologi penafsiran al-Quran yang diasumsikannya setia kepada akar-akar spiritualitas dan mampu menghadapi tantangan-tantangan kontemporer sekaligus upaya untuk tidak mengulangi kegagalan gerakan-gerakan pembaharuan sebelumnya yang, sekali lagi, adalah karena ketiadaan basis metodologi mereka dalam menangani isu-isu reaktualisasi: alih-alih mengupayakan suatu metodologi yang setia kepada akar-akar spiritualitas Islam dan mampu menghadapi kebutuhan zaman, kaum modernis lebih cenderung mengeksploitasi Islam historis dalam menangani isu pembaharuan. Rahman kemudian menawarkan metode double movement (gerak ganda) dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Hubungan timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine revalition) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profan menjadi tema sentral. Pemahamannya adalah bagaimana norma-norma dan nilai-nilai wahyu ketuhanan mempunyai relevansi yang dapat bertahan terus menerus dalam sejarah umat beragama tanpa harus salah tempat dan salah waktu. Gerak pertama dari metode gerak ganda ini adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Quran diturunkan. Hasil pemahaman ini diasumsikan akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial moral era kenabiaan, sekaligus juga dapat diperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas  pada umumnya saat itu. Penelitian dan pemahaman pokok-pokok semacan itu akan mengasilkan rumusan narasi ajaran al-Quran yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistematik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedang gerak kedua adalah upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistemik dan umum dalam konteks  pembaca al-Quran era kontemporer. Fazlur Rahman juga menggunakan mertode sintesis  dan logis, dan membiarkan al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri. Metode seperti itulah yang kemudian ia coba terapkan dalam karya magnum opusnya Major Themes of The Quran Islam. Li. M. Amien Abdullah, “Paradigma Alternatif pengembangan Ushul Fikih Dan Dampaknya Pada Fikih Kontemporer” dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz,  Press, 2002), h. 122-124.

53 Bagi Arkoun penafsiran yang utuh adalah penafsiran yang melihat keterkaitan dimensi bahasa-pemikiran dan sejarah. Untuk menjalankan penafsiran yang hermeneutis ini, jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutis. Arkoun ingin mengembalikan pemikiran Islam kepada wacana al-Quran seperti sediakala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap berbagai pemahaman. Di sinilah kemudian Arkoun menawarkan tiga pendekatan: pertama, linguistik (semiotik) yang dengannya teks dipahami secara komprehensif dan sebagai satu sistem dari hubungan-hubungan interen; kedua, analisis antropolgis-historis: digunakan untuk mengetahui asal-usul  dan fungsi bahasa keagamaan sehingga dengan cara ini akan bisa dikenali bagaimana bahasa sesungguhnya berfungsi menguak cara berpikir  dan cara merasa yang sangat berperan dalam sejarah umat Islam. Sementara analisis historis harus diarahkan untuk tidak hanya mengungkap fakta sejarah yang menyangkut tokoh, tempat dan yang semacamnya, namun harus mampu pula mengungkapkan mengenai cara persepsi waktu dan kenyataan, suatu jaringan komunikasi yang biasa dikenal dengan episteme; ketiga, analaisis mitis. Ini digunakan karena dalam al-Quran terdapat struktur dan gaya bahasa  yang bersusunan mitis. Dengan analisis terakhir ini, Arkoun melihat  bahwa teks-teks keagamaan termasuk al-Quran lebih bersifat simbolis daripada denotatif. Lebih jauh lihat  Arkoun, Berbagai Pembacaan …op . cit.  h. 50-60; Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op. cit.,  h. 194-195.

54 Bagi Hassan Hanafi menafsirkan lebih berarti melakukan gerak ganda dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Untuk inilah dia mengajukan tawaran metodologis yang disebutnya sebagai al-manhaj al-ijtima’ fi al-tafsir. Hassan Hanafi merumuskan langkah-langkah metodis yang msuti  dilalui dalam penafsiran: Pertama, seorang mufasir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problema sosial politik tertentu. Artinya, setiap seorang mufasir muncul pasti dilandasi oleh keprihatinan-keprihatinan tertentu atas kondisi kontemporernya; kedua, bercermin dari lahirnya teks al-Quran yang didahului oleh realitas, seorang mufasir harus merumuskan tujuannya. Artinya tidak mungkin seorang mufasir memulai kegitannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya; ketiga, dari rumusan komitmen dan tujuannya, barulah seorang mufassir dapat menginiventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya; keempat, inventarisasi ayat kemudian  diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan bagi langkah kelima yaitu membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju; keenam, identifikasi problema factual dalam situasi empirik yang dihadapi penafsir bisa berupa penindasan, pelanggaran dan sebagainya; ketujuh, menghubungkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problema factual yang diindikasi dari realita empirik melalui perhitungan statistik dan ilmu  sosial; kedelapan, menghasilkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses penafsiran transformatif. Lih. M Mansur, “Metodologi Tafsir Realis (Telaah Kritis Terhadap Pemikiran Hassan Hanafi)”, dalam Abdul Mustaqim dan Syahiron Syamsyddin, op. cit., h. 105-106.  Lebih jauh lihat Hassan Hanafi, Dirasah Falsafiah, (Kairo: Maktabah Anglo Misriyah, 1988), h. 536. ad-Din wa al-Tsaurah (Kairo: Maktabah Madlubi, 1981), Qadhaya Muashirah fi Fikrina al-Ma’ashir (Bairut: Dar al-Tanwir). Lihat juga pengantar serius Amin Abdullah dalam Ilham B. Saenong, op. cit., h. xvxxvii

55 Intertektualitas adalah metode yang ditawarkan Syahrur dalam menafsirkan al-Quran, Lihat Syahrur, op. cit., h. 166. Metode yang mencoba menggabungkan seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama sesungguhnya bukan merupakan hal baru dalam tradisi tafsir al-Quran. Tekhnik metodis ini muncul dari konsepsi al-Quran yufassiru ba’dhuhu ba’dha, namun baru diaplikasikan secara sistematis pada abad ke 20 yang lebih populer dengan tafsir maudlu’i. Di tangan Syahrur, intertektulitas ini, agar lebih mendekati kebenaran dan memiliki wawasan baru, digunakan pula pendekatan semantik dengan analisis paradigmatik dan sintagmatis. Lih. Sahiron Syamsudin, “Metode Intertekstualitas Muhammad Syahrur dalam Penafsiran al-Quran” dalam Abdul Mustaqim dan Syahiron Syamsuddin, Studi al-Quran Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 131-138.

56 Aisyah bint Syathi’ dalam menafsirkan al-Quran berupaya melakukan penjelajahan linguistik sekaligus menyisir kronologi pewahyuan, tema-tema yang dibahas di topang riwayat-riwayat yang berkaitan dengan maksud untuk dapat memahami konteksnya, sebagaiaman tempo hari dicanangkan kritikus tafsir Amin al-Khuli. Eksplorasi Bint Syathi itu dapat kita  telaah dalam tafsirnya yang berjudul al-Tafsir al-Bayni li al-Quran al-Karim. Mirip dengan Bint Syathi adalah Toshiko Izutsu yang berusaha menerapkan metode semantik dalam mengolah teks al-Quran seperti tergambar dalam triloginya: God and Man in The Quran, (Tokyo: Keio Institue of Cultural and Language Studies, 1964); The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analyis of Iman and Islam (Tokyo: Keio Institute of Cultural and language Studies, 1970) dan Etico Religious Concept of The Quran (Monteral: McGill Universit Press, 1966).

57 Abu Zaid dalam menafsirkan al-Quran menawarkan metode dengan pendekatan sastra. Bagi Abu Zaid, al-Quran niscaya dipahami sebagai suatu produk budaya yang tak lepas dari keberadaannya sebagai teks linguistik, teks historis dan teks manusiawi. Oleh karenanya pemahaman terhadap al-Quran tidak bisa meninggalkan ketiga aspek ini, yang kesemuanya ini berangkat dari konteks budaya Arab abad ketujuh. Abu Zaid mencanangkan dua tujuan dalam melakukan studi al-Quran, yakni: pertama, mengkaitkan kembali studi al-Quran dengan studi sastra dan studi kritis (al-dirasah al-adabiyyah wa al-naqdiyyah). Menurutnya studi Islam dan al-Quran pertama dan utamanya atas ‘teks’. Studi tentang al-Quran sebagai sebuah teks linguistik mensyaratkan pengusaan studi linguistik dan sastra. Untuk melakukan hal itu, Abu Zaid mengadopsi teori-teori mutakhir dalam bidang linguistik, semiotik, dan hermeneutik dalam kajian-kajiannya terhadap al-Quran; kedua,  untuk mendefinisikan pemahaman ‘objketif’ tentang Islam (al-mafhum al-maudlu’i li al-islam) yang terhindar dari kepentingan-kepentingan ideologis. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi ‘Ulum al-Quran (Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1993), h. 21-25. lihat juga desretasi Abu Zaid,  al-Ittijah al-‘Aql fi alTafsir: Diarasah al-Qadhiyyat al-Majaz fi al-Quran ‘inda al-Mu’tazilah yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-Quran Menurut Mutazilah,  (Bandung: Mizan, 2003), Falsafah al-Ta’wil: Nadariyyat Ta’wil al-Quran ind Ibn ‘Arabi (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1998), al-Nass al-Sulthan al-Haqiqah (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘arabi, 1985). Lih. Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran Teori Hermeneutika Nasr AbuZaid (Jakarta: Teraju, 2003), Abu Zaid, “al-Quran sebagai Teks: Teori Teks dalam Hermeneutika Quran Nasr Hamid Abu Zaid” dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin, Studi al-Quran… op. cit.h. 149-166.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar