Senin, 11 April 2011

KONSEP AL-NAFS


KONSEP AL-NAFS DALAM ISLAM
Nurhamzah CS


Mukadimah
proses pendidikan yang dilakukan dalam dunia tasawuf dalam rangka melatih al-ruh atau al-nafs (jiwa) agar selalu tunduk dan patuh kepada Allah swt. demi terwujudnya akhlak al-karimah. Dalam kontek ini pendidikan spiritual (tarbiyat al-ruhāniyah) dilakukan melalui sebuah latihan yang sifatnya dawam[1] (langgeng) yang disebut riyādlah dengan cara mujāhadah. Dengan kata lain pendidikan spiritual (tarbiyat al-ruhāaniyah) adalah latihan jiwa (al-nafs), yakni melatih jiwa agar  tunduk kepada Allah swt. sebab pada prinsipnya al-nafs itu bertendensi kepada kejahatan dan pembangkangan karena adanya pengaruh dari sifat keduniaan yang dapat memalingkan untuk ingat kepada Allah, walaupun setiap al-nafs mempunyai kadar tendensi kejahatan yang berbeda. Selanjutnya dalam penulisan ini penggunaan istilah pendidikan spiritual dan riyādlah secara bergantian, terkadang menggunakan istilah pendidikan spiritual (tarbiyat al-ruhāniyah) dan terkadang menggunakan istilah riyadah. Sebab kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama, yakni kandungan pendidikan spiritual (tarbiyat al-ruhāaniyah) adalah riyādlah.
Pendidikan spiritual (tarbiyat al-ruhāniyah) atau riyādlah dalam dunia tasawuf ada dua macam, yaitu riyādlah badani dan riyādlah ruhani (al-nafs = jiwa). Riyādlah badani dilakukan oleh seorang sufi dengan jalan mengurangi makan, minum dan lain-lain, yaitu melatih badan, , agar al-nafs tersebut tidak berdaya, sebab keberdayaan al-nafs, salah satunya adalah dengan banyak minum, banyak makan, banyak tidur, dan lain-lain yang bersifat fisikal. Dalam prekteknya, bentuk riyādlah ini dapat berupa puasa, baik puasa syariat maupun  hakekat. Imam al-Gazali mengatakan : Sesungguhnya sebesar-besarnya yang   membinasakan  dan  meracuni  anak  adam adalah nafsu sahwat perut[2] dan menurut hasil penelitian bahwa perut adalah sumber al-nafs dan tempat tumbuhnya berbagai macam penyakit.

Al-Nafs[3],   secara   umum   al-nafs   jika     dikaitkan     dengan    hakekat manusia, menunjuk kepada sisi manusia yang berpotensi baik dan buruk. Al-nafs mempunyai sifat lembut (lathif) dan robbāni, ia adalah al-ruh sebelum bersatu dengan jasad (tubuh kasar manusia), sebab al-ruh diciptakan terlebih dahulu sebelum jasad.[4] Sejalan dengan Amin al-Kurdi, Imam al-Gazali  dalam menguraikan al-nafs (jiwa) menggunakan empat terminologi, yakni al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-‘aql [5]Keempat terminologi terebut mempunyai arti  umum dan khusus.
Al-Qalb  dalam pengertian pertama adalah al-qalb al-jasmani atau al-lahm al-shanubari, yaitu daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang Yang terletak di dalam dada  sebelah kiri. Al-Qalb dalam pengertian pertama ini erat kaitannya dengan ilmu kedokteran dan tidak banyak menyangkut maksud-maksud agama serta kemanusiaan. Al-Qalb tersebut juga terdapat pada hewan. Al-Qalb dalam pengertian kedua menyangkut jiwa yang bersifat lathif, rohāniah, dan robbāni, dan mempunyai hubungan dengan al-qalb al-jasmani. Al-Qalb dalam pngertian kedua inilah yang merupakan hakekat dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemanuan, berfikir, mengenal, dan beramal. Selanjutnya kepadanyalah ditujukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksaan Allah.
Al-ruh dalam pengertian pertama adalah organik yang lembut yang kandungannya merupakan darah kental yang bersumber dari rongga al-Qalb al-Jasmani. Melalui nadi-nadi yang berdenyut (al-‘uraq ad-dawārib) didistribusikan mengalir ke seluruh tubuh. Sirkulasi darah ke seluruh tubuh menimbulkan berkas-berkas cahaya kehidupan, indera, persepsif, penglihatan, pendengaran, indera penciuman, dari sana, dapat dimisalkan dengan timbulnya berkas-bekas cahaya dari lampu dalam minyak lentera rumah. Para dokter, ketika menunjuk kata  al-ruh maksudnya adalah teminologi tersebut. Pengertian kedua, al-ruh bermakna latifah yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang ada pada manusia. Inilah salah satu makna diantara dua makna yang dimiliki kalbu, dalam firman Allah :

ويسألونك  عن الروح قل الروح من امر ربى   [ الإسراء     :   85 ]

  “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh, katakanlah, ‘ruh itu termasuk urusan Tuhanku“

Kata al-nafs merupakan kata ambigu. Makna pertama dimaksudkan sebagai makna universaal, perpaduan dari potensi marah (fakultas emotif) dan hasrat ego (syahwat) dalam diri manusia. Penggunaan kata al-nafs dalam hal ini banyak digunakan dalam tradisi Sufi. Mereka mengartikan al-nafs sebagai sumber (al-asl) dari keseluruhan sifat-sifat manusia yang tercela. Karena itu mereka sering menggunakan istilah “berperang melawan nafsu dan mematahkan ego (syahwah) adalah suatu keharusan.” Al-Nafs dalam makna pertama (al-quwwah al-gadab) ini tentu saja tidak dapat diterima melalui konsepsi kaum sufistik untuk bisa kembali kepada Allah swt., bahkan amat jauh dari Allah swt., dan al-nafs dalam kontek ini adalah satu partai yang memihak kepada setan. Apabila ketenteramannya tidak sempurna, namun masih mampu menahan nafsu syahwat, disebut nafsu lawwāmah. Sebaliknya, jika menyerah pada tantangan nafsu, bahkan memperturutkan syahwah dan ajakan setan, disebut sebagai nafsu amārah.
Makna kedua al-nafs adalah lathifah sebagaimana terminologi lainnya di atas – yakni sisi yang hakiki, spirit, dan identitas seseorang – tetapi dideskripsikan dengan sifat-sifat yang berbeda-beda menurut perbedaan situasi dan kondisinya. Apabila al-nafs berada dalam kondisi tentram dibawah perintah Allah swt., dan menepis segala kegundahan, maka disini disebut sebagai al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenteram).
Al-aql dalam pengertian pertama dimaksudkan sebagai pengetahuan terhadap hakekat segala hal. Karena itu, al-aql adalah sifat kognitif dari sifat ilm yang bertempat dalam fakultas (khazanah) kalbu. Sedangkan makna kedua, adalah kekuatan perseptif (al-mudrik) yang menyerap ilmu pengetahuan, sehingga kadang-kadang disebut pula dengan al-qalb (kalbu). Yakni lathifah yang menjadi jati diri manusia. Nabi bersabda yang artinya : “Sesungguhnya di dalam badan anak adam itu ada segumpal darah. Apabila darah itu baik, maka baiklah seluruh badan anakadam itu semuanya. Apabila gumpalan darah itu rusak, maka rusaklah saeluruh badan anak aam itu. Perhatikan, bahwa yang dimaksudkan itu ialah hati”.[6]
Dari uraian di atas, makna pertama (makna umum) dari keempat terminologi  tersebut mempunyai perbedaan makna, sedangkan secara khusus (makna kedua), keempat terminologi tersebut  mempunyai pengertian yang sama, yakni  jiwa  atau  spiritual  manusia  yang  bersifat lathif, rabbāni dan rohani yang memerlukan hakekat, diri, dan zat manusia.[7]
 Dalam tarekat ada ungkapan, dengan  jiwa manusia dibangun, artinya jiwa adalah inti dari segala yang ada dalam diri manusia, sehingga pembahasan jiwa (al-nafs) sangat penting. Selain itu pula,  kejadian manusia menurut pandangan tarekat ini adalah karena qudrat dan  irādat Allah.[8]  Ia menjadikan manusia dari dua eksistensi yang berbeda, yaitu eksistensi dari ‘alam al- amri, dan eksistensi dari  alam al- khalqi.[9] Ada lima entitas yang berasal dari ‘alam al-amri, yang disebut latha’if (jama’ dari kata lathifah), yang berarti kelembutan. Yaitu lathifat al-akhfa, lathifat al-khafi, lathifat al-sirriy, lathifat al-ruhi, dan lathifat al-qalbi. Sedangkan yang berasal dari ‘alam al-khalqi ada lima entitas, yaitu satu lathifah  dan empat anasir (jama’ dari unsur). Kelima entitas itu adalah lathifat al – nafsi, unsur api, unsur udara, unsur air dan unsur tanah.[10] Menurut Mir Valiudin, ternyata teori tersebut adalah termasuk di antara temuan besar Imam Rabbani al-muadjdid alf al-tsani (Syekh Ahmad Faruqi Al-Sirhindi).[11] Informasi tentang ke-lima latha’if  tersebut belum pernah disampaikan oleh para sufi sebelumnya, demikian juga komposisi lengkap struktur tubuh (jasmani dan rohani) manusia.[12] Dari teori ini pula ditemukan filsafat jiwa yang sederhana tetapi sangat gamblang, rasional dan progresif.
Masih dalam kerangka teori filsafat kejadian manusianya Imam Rabbani, keyakinan bahwa :” Barang siapa mengetahui nafs-nya (dirinya), ia mengetahui Tuhanya”. Yakni barang siapa yag mengetahui akan kelemahan dirinya, kehinaan dan kebodohan, kefanaan dan keterbatasan dirinya, maka ia akan pasti mengetahui kemuliaan Tuhanya, kekuasaan, kemahatahuan, dan ke-baqa’-an   Tuhannya.[13]   Pentingnya  untuk  mengetahui  hakikat  diri  ini,   juga disandarkan pada firman Allah : Al – Isra’ (17) :72 yang artinya : ”Barang siapa yang didunia ini buta, maka di akhirat akan lebih buta lagi, dan tersesat jalan.”
Jiwa (nafs), adalah kelembutan (lathifat) yang bersifat ke-Tuhanan (rabbāniyah). Sebelum bersatu dengan badan jasmani manusia lathifat  ini disebut dengan al-ruh, dan jiwa (al-nafs) adalah ruh yang telah masuk dan bersatu dengan jasad yang menimbulkan potensi kesadaran (ego).[14] Jiwa yang diciptakan oleh Allah sebelum bersatunya dengan jasad bersifat suci, bersih dan cenderung mendekat kepada Allah, mengetahui akan Tuhannya. Akan tetapi setelah ruh tersebut bersatu dengan jasad akhirnya ia melihat (mengetahui) yang selain Allah, dan oleh karena itu terhalanglah ia dari Allah karena sibuknya dengan selain Allah.[15] Itulah  sebabnya  ia  perlu  dididik,  dilatih,  dan   dibersihkan   agar   dapat  melihat,  mengetahui   dan  berdekatan dengan Allah SWT.[16]
Ruh yang masuk dan bersatu dengan jasad manusia memiliki lapisan-lapisan kelembutan (latha’if), sehingga dapat di katakan bahwa tujuh lathifah yang ada pada diri manusia itu adalah al-nasf atau jiwa dalam istilah lain.[17] Tujuh lapisan tersebut berdasarkan nilai dan tingkat kelembutannya. Yaitu :
(1). Nafs al – amārah;   (2) Nafs al – lawwāmah; (3) Nafs al – mulhimah; (4) Nafs al – muthmainnah; (5) Nafs al – rādliyah; (6) Nafs al – mardliyah; (7) Nafs al – kāmilah [18]
Sehingga dapat di katakan bahwa ketujuh lapis kelembutan jiwa tersebut adalah tingkatan kesadaran manusia sepenuhnya. Sedangkam lathifat pada tahapan selanjutnya dipakai sebagai istilah praktis yang berkonotasi tempat, lathifat al-nafsi sebagai tempatnya  nafs al amarah lathifat al- qalbi sebagai tempatnya nafs al- lawwamah,  lathifat al- ruhi sebagai tempatnya nafs al-mulhimah, dan seterusnya.[19]Kelembutan  jiwa  sebagai tingkatan dan kedalaman kesadaran, dapat di lihat dalam tahapan kejiwaan berikut ini:
(1).             Lathifat al- nafsi berubah menjadi nafs al- amarah; (2) Lathifat al- qalbi berubah menjadi nafs al- lawwanah; (3) Lathifat al- rũhi berubah menjadi Nafs al- mulhimah; (4) Lathifat al- sirri  berubah menjadi  nafs al- muthmainnah; (5) Lathifat al- khāfi berubah menjadi Nafs al- rādliyah; (6) Lathifat al- akhfa berubah menjadi Nafs al- mardliyah; (7) Lathifat al- qalabi  berubah menjadi Nafs al- kāmilah.[20]
Semakin kecenderungan seseorang dengan unsur jasmaniyah akan semakin jelek dan rendah nilai jiwanya, dan semakin jauh dari unsur jasmaniyah (materi) akan semakin baik dan suci. Karena berarti semakin dekat dengan unsur ilahiyah. Sehingga ada pengaruh antara keadaan kejiwaan dengan tabi’at, tingkah laku kondisi kesehatan fisik manusia.
a.      Tazkiyat al-Nafs dan Tashfiyat al-Qulb
Arti Tazkiyat al-nafs adalah penyucian jiwa.[21] Berarti mensucikan diri dari berbagai kecenderungan buruk, tercela, dan hewani serta menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti. Penyucian jiwa akan mustahil dapat dilakukan tanpa mengamalkan pengekangan diri, kerja keras, dan kesunguh-sungguhan.  Hal  tersebut  harus  dilakukan  baik  bagi  pemula atau yang telah
mencapai tingkat tertinggi  dalam tasawuf.[22]
Tashfiyat al-qalb adalah  membersihkan  hati.  Tashfiyat  al-qalb  bermakna membersihkan atau menghapus hati dari kecintaan akan kenikmatan dunia dan hal-hal duniawi sementara dan kehawatiran atas kesedihan, serta memantapkan dalam tempatnya kecintaan kepada Allah  semata[23] Kata al-qalb mempunyai dua arti, pertama berarti al-qalb  al-jasmani atau al-lahm al-sanubari, yaitu daging khusus yang berbentuk seperti  jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Al-qalb dalam arti kedua, menyangkut jiwa yang bersifat lahtif, rabbāni, dan ruhāniah. Al-qalb dalam pngertian kedua inilah yang merupakan hakekat manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemauan, berfikir, mengenal, dan beramal. Al-qalb ini yang menjadi  objek   pembersihan  hati.  Untuk  membersihkan hati, para syaikh dalam berbagai thariqat  sangat memperhatikan praktek yang dianjurkan Allah swt.[24]
Proses yang dilalui dalam melaksanakan Tazkiyat al-nafs dan Tashfiyat al-qulb, adalah Takhliyat al-nafs, Taḥliyat al-nafs, dan terakhir tajliyat.
1.      Takhliyat al-Nafs
Takhliyat  al-nafs  disebut  juga  takhalliyat  as-sirr[25]  yang   berarti pengosongan jiwa dari akhlak tercela,[26] atau pengosongan jiwa dari segenap pikiran yang akan mengalihkan perhatian dari zikir dan ingat kepada Allah.
2.      Taḥalliyat al-Nafs
Taḥliyat al-nafs ialah pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji sesudah mengosongkannya dari sifat-sifat tercela (Takhliyat al-nafs).
3.      Tajalliyat
Tajliyat atau Tajalliyat adalah tersingkapnya hijab yang membatasi manusia dengan Allah, sehingga nyata dan terang cahaya dan kebesaran Allah dalam jiwa.[27]
b.      Proses Tazkiyat al-nafs dan Tasfiyat al-Qulb dalam Pendidikan Spiritual
Seperti dijelaskan di atas bahwa tazkiyat al-nafs adalah pensucian jiwa dari sifat-sifat tersela dan hewani dan tasfiyat al-qulb adalah membersihkan hati  dari  hal-hal  duniawi.   Ini   berarti   keduanya   adalah    sebagai   upaya   pengkondisian agar jiwa dan hati merasa tenang, tentram dan senang berdekatan dengan Allah (ibadah). Yang dimaksud dengan penyucian jiwa dan pembersihan hati ini adalah penyucian dari semua kotoran dan penyakit “hati” atau penyakit kejiwaan.[28] Ungkapan kotoran jiwa (radāil al-nafsi) atau penyakit hati (maradl al-qalbi), adalah ungkapan untuk menunjukkan pada suatu kondisi psikologis yang tidak baik berdasarkan parameter agama atau akal budi (hati nurani), dan bersifat psikogenik (bukan organik). Sementara membersihkan hati adalah  menghapus hati dari kecintaan akan kenikmatan dunia dan hal-hal duniawi sementara dan kekhawatiran atas kesedihan  serta  memantapkan  dalam    tempatnya   kecintaan   kepada  Allah semata. 
Kotoran jiwa berarti sifat-sifat (akhlak batin), atau lintasan-lintasan pemikiran yang tidak baik, seperti: iri hati (al-hiqdu), merasa diri yang baik dari yang lain (al-‘ujubu), rakus dan ambisius (al-hirsu) dan lain-lain. Dan termasuk juga kotorannya jiwa adalah dosa yang diperbuat oleh manusia (al-zanbu).
Tujuan ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang salik atau ahli tarekat. Bahkan dalam tradisi tarekat, tazkiyat al-nafs ini dianggap sebagai tujuan pokok.[29] Dengan bersihnya jiwa dari berbagai macam penyakitnya akan secara otomatis menjadikan seseorang dekat kepada Allah. Proses dan sekaligus tujuan ini dilaksanakan dengan merujuk pada firman Allah dalam QS. Al-Syams; 7-9 yang artinya : “Dan demi jiwa dan penyempurnaannya, maka kepadanya diilhami jalan kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikannya dan celakalah orang yang mengotorinya.”[30]
Filosofi  dan  logika  proses  tazkiyat al-nafs dan tasfiyat al-qulb dalam
tarekat ini mengikuti filsafat kimiya’ al-sa’ādah sebagaimana umumnya madzhab-madzhab tasawuf.[31]  Filsafat ini mendasarkan teorinya pada prinsip peleburan logam. Bahwa jiwa adalah ibarat biji logam, atau batu permata. Ia merupakan bahan baku yang masih perlu dilebur, dibentuk dan dibersikan. Untuk menjadikan logam sebagai sebuah perhiasan yang berharga harus dilebur dengan bahan kimia atau dengan panas (suhu) yang tinggi. Dan dalam waktu  yang  lama,  membutuhkan  seorang  pengrajin  yang  ahli  dan  telaten (sabar), serta memiliki seni tinggi.[32]
Untuk  menjadikan  jiwa  yang  baik dan bernilai tinggi, jiwa perlu dilebur dengan  bahan  kimia  atau  dipanaskan  dengan api,  sehingga kotoran, dan karat-karatnya terlepas. Maka tampaklah kecemerlangan logam mulia (emas), karena karat dan kotorannya telah hilang. Tetapi ia masih perlu ditempa dan dibentuk sesuai dengan keinginan pengrajinnya, yaitu mursyid. Dan selanjutnya harus selalu dibersihkan agar senantiasa cemerlang.[33]
Dalam tarekat proses peleburan dan pembentukan jiwa ini melalui usaha keras (mujāhadah) yang kontinu yang disebut dengan Riyādhah al-nafsi. Latihan jiwa sebagai sebuah metode memiliki dua proses, yaitu takhalli, dan tahalli.[34] Dalam takhalli seorang murid harus menempa jiwanya dengan perilaku-perilaku yang dapat membersihkan, dan meleburkan jiwa. Ia harus terus menerus melakukan dzikir setiap waktu. Minimal setiap setelah selesai shalat fardlu ber-zikir nafsi isbat 165 kali, dan zikir lathaif (Ism zat) sebanyak 1000 kali.[35] Dalam proses takhaliyat, seorang murid juga harus senantiasa bersikap zuhud (tidak materialis), wara’ (senantiasa berhati-hati dalam bertingkah laku dan beribadah), tawadlu  (merendahkan  diri   dan   tidak   takabbur),    dan    ikhlas    (senantiasa
memurnikan motivasi dan orietasi) hanya kepada Allah.[36]
Proses takhalliyah dalam kimiya’ al-sa’adah tersebut merupakan proses peleburan jiwa.[37] Membersihkan jiwa dari sifat-sifat jelek hayawani dan syaitani. Semakin intensif seorang murid melaksanakan proses takhalliyat akan semakin panas badan ruhaniyyah. Dan dengan panasnya dzikir dan riyadat al-nafsi yang lain tersebut, kotoran-kotoran jiwa akan leleh terbakar, karat-karat jiwa akan terlepas sedikit demi sedikit. Maka akhirnya lapisan paling luar dari jiwa akan terkelupas. Begitu seterusnya akhirnya yang tinggal hanyalah inti jiwa yang paling dalam.[38]
Sedangkan proses tahalliyat merupakan proses pembentukan jiwa, karena itu  ia   lebih  bernilai  sebagai  kelanjutan  dari proses takhalliyyat.[39] Jika seorang murid telah melaksanakan proses takhalliyat,  maka ia akan mudah melaksanakan tahalliyat. Tahalliyat merupakan proses penghiasan diri (jiwa) dengan amalan-amalan shaleh. Secara umum melaksanakan syari’at agama merupakan proses takhalliyat dan tahalliyat sekaligus. Sedangkan yang dimaksud dengan tahalliyat disini adalah amalan-amalan sunnah. Seperti puasa, membaca al-Quran,  shalat  sunnah,  tafakkur   di   waktu   sahur.[40]   Demikian   juga  menjaga kesucian dan adab serta akhlaq merupakan proses tahalliyat yang sangat utama.
Karena   kesucian   dan   akhlaq mulia merupakan intinya iman, seperti sabda nabi: “Kesucian adalah setengahnya iman.” [41]. Dalam hadits lain disebutkan, “Tidak ada sesuatu yang lebih memberatkan timbangan dari pada baiknya akhlaq.” [42]
Dalam metode riyadlat al-nafsi, amalan-amalan yang bersifat tahalliyat tersebut dapat diibaratkan sebagai penambahan bahan kimia, atau menghidupkan api pembakar tungku. Ia lebih berperan sebagai pembuat suasana yang kondusif, dan menjaga agar proses tazkiyat al-nafs (pembersihan jiwa) dan tashfiyat al-qulb (pembersihan hati), karena pengaruh al-nafsu al-hayawani (nafsu kebinatangan) akan melemah, maka daya kemalaikatan (junũd al-qalbi) akan menguat.
Begitu pula halnya membaca al-Qur’an sebagai obat penyakit kejiwaan (syifa lima fi al-sudũr),[43] dzikir nafsi isbat untuk memanaskan dan meleburkan secara keseluruhan, sedangkan zikir latha’if dimaksudkan untuk meleburkan nafsi pada lapisan-lapisan tertentunya secara lebih intensif. Kedua jenis zikir tersebut dikerjakan dengan harapan tazkiyat al-nafs dan tashfiyat al-qulb, dapat berlangsung secara efektif dan efesien. Sehingga tujuan akhir dari sebuah proses panjang riyādlat al-nafsi dapat segera dicapai. Yaitu Tajalliyat Allah, atau ma’rifatullah (sadar sepenuhnya akan eksistensi Allah).
c.       Pengaruh jiwa dalam diri manusia
1.      Jiwa Amārah
Jiwa amārah[44] ini  adalah kesadaran  yang cenderung pada tabi’at badaniyah,  karena  dasarnya  ia  berasal  dari  unsur   jasmaniyah   (walaupun bersubstansi lathifah karena terlalu lembutnya), dan tidak termasuk unsur. Dan nafsu atau jiwa ini pula yang membawa qalb (lathifat al-qalbi) ke arah lebih rendah, serta menuruti keinginan-keinginan duniawi yang dilarang  oleh  syari’at.  Jiwa ini  merupakan sumber segala kejahatan
dan akhlāq yang tercela atau moral deffeck[45]
Pusat mekanisme kerja jiwa ini berada dalam otak jasmaniah yaitu pada lapisan pertama. Sehingga dari realitas yang tampak, jiwa ini berpusat di tengah-tengah kening, di antara dua alis mata.[46]   Ia memiliki cahaya biru terang yang disebut dengan nur al-samawat. Inilah esensi nafs (jiwa) sebagai sebuah kesadaran, dan padanya terkumpul tiga potensi dasar manusia.[47]  Keadaan jiwa yang demikian ini akan menimbulkan karakter dan kepribadian seseorang yang tidak baik, yaitu : (a). al-Bukhl atau kikir;  (b). al-Hirsh atau berambisi dalam bidang dunia (materilaistik) (c). al-Hasad yakni dengki dan iri hati; (d). al-Jahl yakni bodoh, susah menerima kebenaran; (e). al-Syahwat, keinginan untuk melanggar syari’at (hidonistik); (f). al-Kibr, merasa diri besar; (g).  al-Gadab, marah-marah karena hawa nafsu.[48]
Diantara ketujuh gejala-gejala nafs al-amārah tersebut, ada tiga hal yang dikatakan oleh nabi sebagi hal yang merusak (distruktif), yaitu :
(a).        Sukhun mutha’un, atau kikir yang diperturutkan
(b).       Hawa mutba’un, atau hawa nafsu yang diikuti
(c).        I’jābun binafsihi, yakni bangga terhadap diri sendiri.[49]
Keadaan jiwa amarah yang selanjutnya menimbulkan tipologi dan kepribadian seseorang yang sangat jelek, dan dengan proses Tazkiyat al-nafs, maka keadaannya akan meningkat menjadi jiwa lawwamah.
2.      Jiwa Lawwāmah
Jiwa lawwamah[50] ini adalah suatu kesadaran akan kebaikan dan kejahatan, sehingga ia suka mencela (al-laum) baik pada diri sendiri, maupun pada orang lain. Jiwa ini berada pada cahaya hati (cahaya warna kuning yang tak terhinggakan). Karena berada dalam cahaya qalb (hati), maka terkadang ia menimbulkan semangat untuk berbuat baik, tetapi juga terkadang ia menimbulkan semangat untuk berbuat tidak baik, dan keinginan untuk maksiat kepada Allah, atau berbuat jahat [51] Akibat dari model kesadarannya itu maka muncul penyesalan dan akhirnya ia mencela diri sendiri. Jiwa ini merupakan sumber munculnya penyesalan. Karena ia merupakan pusatnya hawa nafsu, penyebab ketergelinciran dan kerakusan.[52]
Pusat pengendalian jiwa ini berada di bawah susu kiri sekitar jarak dua jari yang condong ke kiri, di bawah kaki pengendalin (qidam) Nabi Adam a.s.[53] karena pengaruh jiwa ini, maka manusia akan cenderung memiliki tabi’at dan sifat-sifat jelek berikut ini: (a). Al-laum, atau suka mencela; (b). Al-hawa, senang hawa nafsu; (c). Al-makru, atau menipu; (d). Al-ujubu, membanggakan diri; (e). Al-ghibatu, menggunjing; (f). Al-riya’u, pamer atas amal dan prestasinya; (g). Al-dlulmu, menganiaya (tdak adil); (h). Al-kizbu, berbohong; (i). Al-gaflatu, lupa dari mengingat Allah,[54]
Walaupun jiwa ini didominasi dengan sifat-sifat jelek tersebut, tetapi latifat al-qalbi tersebut (jiwa ini) juga merupakan tempatnya sifat-sifat baik, yaitu : iman atau keyakinan akan kebenaran syari’at Islam, penyerahan diri kepada ketentuan-ketentuan syari’at Allah, tauhid serta makrifat.[55] Kalau jiwa lawwāmah ini telah tiada dalam diri seseorang, maka ia akan meningkat kualitas kejiwaannya yang diberi nama mulhimah.
3.      Jiwa Mulhimah
Pada dasarnya jiwa mulhimah [56] ini adalah lathifat al-rũhi. Oleh karena itu jiwa ini berada pada lapisan ketiga dalam sistem interiorisasi jiwa manusia. Kelembutan jiwa ini merupakan kesadaran yang mudah menerima pengetahuan. Jiwa ini juga yang melahirkan kesadaran-kesadaran   positif  seperti :  tawadlu’  atau merendahkan diri, qanaah atau
menerima kenyataan hidup dan dermawan.[57]
Sebagai realitas dari lathiful al-rũhi, maka jiwa mulhimah ini memiliki pusat pengendalian di bawah susu kanan berjarak sekitar dua jari. Ia memiliki hubungan dengan paru-paru jasmaniah manusia. Cahaya jiwa ini  berwarna  merah  tak  terhinggakan.[58]  Menurut  tarekat  ini, jiwa mulhimah memiliki tujuh sifat yang dominan yaitu: (a). Al-sakhawah, atau dermawan; (b). Al-qanā’ah, atau menerima (tidak rakus); (c). Al-hilmu, atau lapang dada; (d). Al-tawadũ’, atau merendah diri; (e).  Al-taubat, atau bertaubat; (f). Al-Shabru, atau sabar (tahan uji); (g). Al-Tahammul, tahan menjalani penderitaan[59]
Di samping adanya dominasi sifat-sifat baik tersebut, dalam jiwa mulhimah ini bersarang jiwa binatang jinak. Jiwa ini memiliki kecenderungan menuruti hawa nafsu untuk bersenang-senang semata (hidonistik), terutama yang berkaitan dengan kecenderungan kepentingan seksual.[60] Orang pada tingkatan jiwa ini telah sampai di pintu gerbang spiritualisme Islam (kehidupan sufistik). Dan tingkatan berikutnya adalah jiwa muthmainah.
4.      Jiwa Muthmainah
Jiwa muthmiainah [61] (jiwa yang tenang) ini adalah jiwa yang diterangi oleh cahaya hati nurani, sehingga bersih dari sifat-sifat yang tercela, dan stabil dalam kesempurnaan. Jiwa ini merupakan awal mula (starting point) untuk tingkat kesempurnaan, maka apabila seorang salik telah memiliki jiwa ini, maka berarti ia telah menginjakkan tingkatan tarekat menuju kepada tingkatan hakikat. Dia mampu berkomunikasi dengan orang lain sementara hatinya berkomunikasi dengan Tuhan, karena
begitu terikatnya dengan Allah.[62]
Pada hakikatnya jiwa ini merupakan realitas dan gejala dari lathifat al-sirr, maka pusatnya berada di atas susu kiri, jarak dua jari dan condong ke kiri. Warna cahaya yang memancar dari jiwa ini adalah putih yang tak terhinggakan. Ia berada di bawah qidam Nabi Musa a.s.[63] Jiwa ini didominasi oleh sifat-sifat yang baik yaitu: (a). Al-juddu, atau tidak kikir terhadap harta, demi untuk ketaatan kepada Allah; (b). Al-tawakkalu, bertawakal kepada Allah sebagaimana anak kecil berpasrah kepada ibunya; (c). Al-‘ibadatu, beribadah (ikhlas) kepada Allah; (d). Al-syukru, bersyukur karena  merasa  menerima   nikmat   dari Allah;  (e).  Al-ridla,  rela   terhadap
hukum dan ketentuan Allah; (f). Al-khaswatu,  takut mengerjakan maksiat kepada Allah.[64]
Di samping adanya dominasi sifat-sifat baik, dalam jiwa ini juga bersemayam sifat yang jahat yang sangat berbahaya. Yaitu sifat sabu’iyyah, kalau jiwa ini (muthmainah) tidak dihidupkan, maka yang muncul adalah sifat nafsu binatang tersebut. Yaitu kecenderungan hati untuk bersikap rakus, ambisius, menghalalkan segala cara, suka bertengkar dan bermusuhan.[65]  Inilah tingkatan ideal seorang sufi sunni. Tetapi dalam tingakatan kualitas jiwa murni, diatasnya masih ada lagi tingkatan yang lebih baik, yang dinamakan jiwa Rādiyah.
5.      Jiwa Rādiyah
Pada hakekatnya jiwa Rādiyah  [66]  ini merupakan realitas dari lathifat al-kāhfi, maka ia bersifat sangat lembut dan lebih condong kepada sifat dan kecenderungan lathifat ini yang bersih, suci dan cenderung dekat kepada Allah, karena jauh dari pengaruh unsur-unsur jasmaniyah. Jiwa ini muncul sebagai kesadaran dan kecenderungan untuk rela (menerima dengan senang hati) akan Allah sebagai Tuhannya, sebagai tempat penyerahan diri atas segala urusan, dan satu-satunya dzat yang berhak untuk diibadahi. Selanjutnya ia senantiasa taslim atau menyerah kepada ketentuan-Nya, dan merasakan    kenikmatan     beribadah    kepada-Nya,    sehingga    Allah   pun meridlainya.[67]
Pusat pengendalian jiwa ini berada diatas susu kanan sekitar dua jari dan condong ke kanan. Ia memiliki cahaya berwarna hitam cemerlang, dan berada di bawah qidam kewalian Nabi Isa a.s. pusat pengendalian jiwa ini berhubungan dengan limpa jasmaniyah.[68]
Jiwa ini didominasi oleh enam sifat-sifat baik manusia, yaitu: (a). Husn al-khuluq, atau budi pekertinya (lahir batin); (b). Tark ma siwa Allah, atau meninggalkan sesuatu yang selain Allah; (c). al-Luthfu, yaitu belas kasihan kepada semua makhluk; (d). Hilm al-khalqi ala-al-shilah, mengajak kepada kebaikan; (e). al-‘afwu ‘an zunub al-khalqi, pemaaf terhadap kesalahan semua makhluk; (f). Hubbu’ al-khalqi wa al-mail li ikhrajihim min dulumati tabai’ ihim wa anfusihim ila anwar arwahihim. menyayangi makhluk dengan maksud untuk mengeluarkan mereka dengan maksud untuk mengeluarkan mereka dari pengaruh tabi’at dan nafsu mereka kepada cahaya ruhani yang suci.[69]
Selain adanya dominasi sifat-sifat terpuji tersebut, dalam jiwa ini juga bersarang sifat-sifat jelek yang sangat berbahaya, yaitu sifat syaitaniyah, sifat kesetanan, yaitu sifat-sifat  dan  tabi’atnya iblis,  seperti  hasad, takabur, khianat, licik, dan busuk hati, munafiq.[70]
6.      Jiwa Mardiyyah
Jiwa Mardiyyah[71] ini   merupakan   penjelmaan   dari lathifat al-akhfa, ia merupakan kelembutan yang paling dalam pada kesadaran manusia. Dengan demikian ia merupakan kesadaran (jiwa) yang paling bersih dari pengaruh unsur-unsur materi yang lebih rendah. Pusat pengendalian jiwa ini berada di tengah-tengah dada manusia, warna cahayanya hijau yang tak terhinggakan. Jiwa ini berada dalam pengendalian qidam wilayah Nabi Muhammad saw.[72]
Jiwa ini didominasi oleh sifat-sifat mulia yang sangat utama, yaitu: ‘ilmu al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haq al-yaqin.[73] Selain adanya tiga sifat utama dalam pusat kesadaran (jiwa) ini, maka di sini juga ada sifat ke-Tuhanan yang sangat jelek. Yaitu sifat al-rububiyah, yakni sifat ke-Tuhanan yang tidak semestinya dipergunakan oleh manusia, seperti takabbur, ujub, riya’, sum’ah, dan sebagainya.[74]
7.      Jiwa kāmilah
Jiwa kāmilah  ini  sebenarnya  merupakan kesadaran ruhaniyah dari
lathifah al-qolabi. Oleh karena itu ia bersifat meliputi baik dari aspek ruhaniyah maupun jasmaniah. Ia merupakan jiwa tertinggi bagi manusia secara realitas, manusia sebagai makhluk jasmani dan ruhani, hamba Tuhan sekaligus penguasa alam semesta. Manusia sebagai makhluk tertinggi di antara dua alam, yaitu alam malaikat dan alam syaitan.[75] Sedangkan jiwa kāmilah (sempurna) merupakan jiwa tertinggi (paling sempurna), jiwa (nafs) sebagai ruh yang bersih dari pengaruh unsur-unsur materi.
Pusat pengendalian jiwa ini berada di seluruh tubuh (badan jasmaniyah) manusia, mulia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cahayanya adalah cahaya ilahiyah yang bening tiada berwarna. Adapun sfiat-sifat dominan yang dimiliki jiwa ini adalah: (a). Al-karam, atau mulia (dermawan) senang shadaqah, senang hadiah dan senang beramal jariyah; (b). Al-ikhlas, memurnikan niatnya kepada Allah; (c) Al-Zuhud, bertapa dari materi. Menerima materi hanya yang halal walaupun sedikit, dan meninggalkan yang syubhat walaupun banyak, apalagi yang haram; (d). Al-wara’ berhati-hati dalam beramal (memilih yang benar-benar baik menurut syari’at); (e). Al-riyādlah, latihan terus menerus untuk menyiksa hawa nafsu dengan selalu menghiasi diri dengan budi pekerti yang mulia (akhlaq-al-karimah), dan meninggalkan akhlak yang bersifat    kebinatangan    (hayawaniyyah); (f). Al-wafa’  senantiasa  memegangi  janji terutama janjinya kepada Allah.[76]
Jiwa adalah essensi manusia, ia adalah raja bagi eksistensi kemanusiaannya, sehingga keadaannya sangat menentukan dan berpengaruh bagi dirinya. Pola pikir, sikap dan tingkah laku seorang akan ditentukan oleh keadaan jasmani seseorang (soma). Sehingga dalam isitilah psikologi modern dikenal adanya penyakit-penyakit psikosomatif. Keyakinan ini didasarkan pada sabda Nabi yang artinya adalah :  “Sesungguhnya pada setiap badan anak Adam (manusia) ada suatu gumpalan, apabila gumpalan itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila gumpalan itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa gumpalan itu adalah qalb.[77]
Dengan demikian, maka kedewasaan kejiwaan seseorang akan sangat menentukan tingkat keharmonisan dalam hidupnya. Dan tujuh tingkatan jiwa tersebut, adalah tingkatan kedewasaan dan umur rohani seseorang, kita dapat mengenali ilmu rohaniah dan tingkatan kedewasaan psikologisnya.












[1] Kata  dawan  diambil  dari sebuah hadits Nabi, pada saat Ali bin Abi Thalib bertanya
 mengenai tata cara mendekatkan diri kepad Alah yang paling dekat, zullani ’an aqrabi thuruqi ya rasulallah ! bi mudāwamati zikrillah sirran wa ’al āniah (tunjukan keadaku ya Rasululllah tentang jalan mendekatkan diri kepada Allah ! dengan cara mendawamkan dzikrillah baik secara sembunyi (sirri = khafi)  dan terang-terangan (jahar = keras)
[2] al-Gazali, Menunudukan   Nafsu, Aih Bahasa : Muhammad Ali dan H. Abdullah MA, (Surabaya : Bungkul Indah, 1986), hal. 3

[3] Kata nafs dengan segala bentuknya terulang 313 kali dalam alquran, 72 kali di antaranya disebut dalam bentuk nafs yang berdiri sendiri. Ayat.ayat al-quran yang menyebut kata nafs/anfus menunjukan bermacam-macam arti, di antaranya : a. hati, al-Isra (17) : 25, b. jenis, al-Taubah (9) : 128, c. nafsu, Yunus (12) 53, d. jiwa/ruh, al-Imran (3) 145 dan 185, e. totalitas manusia, al-Maidah (5) 32, dan f. diri Tuhan, al-An’am (6) : 12, Baca : Ensiklopedia, h. 297-298
[4] Amin al-Kurdi,  Tanwir,  h. 465

[5] al-Gazali,  Raudhah  ath-Thālibin  wa  ‘Umdah  as-Sālikin,   alih bahasa :  M. Lukman
Hakiem, cet. V, (Surabaya : Risalah Gusti, 2005), h. 69 - 72
[6] Abu Abdillah, Muhammad ibn Isma’il, Shahih al-Bukhari, Juz I, (Semarang: Thaha Putra, t.th), h. 19. Ditulis lagi pada hal. 36

[7] al-Gazali dalam Yahya, Spiritualisasi, h. 26-29

[8] Qudrat dalam arti kemahakuasaan Allah dan  Iradat  adalah kehendak mutlak Allah dengan tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Sehinggan mencipta maupun tidak mencipta adalah termasuk sifat  jaiz Allah. Inilah pokok-pokok aqidah ahl sunnah wa al-jama’ah. Baca Abd. Malik Al-Juawini, Luma’ al-Adillah fi Qowaid Ahl Sunnah wa jama’ah, t.p : Dar al- Mishriyah Li Ta’rif wa tarjamah, 1965, h. 68,83,107

[9] Alam al-amri (alam perintah) adalah alam ruhaniyah. Term tersebut di ambil dari firman Allah: “Katakanlah ruh itu termasuk dari amr(perintah) Tuhanku”. Qs Al - Isra’ (17): 85. sedangkan Alam al-Khalqi (alam ciptaan) adalah alam jasmaniyah, Term tersebut merujuk pada firman Allah : “Kemudian kami kehendaki ia menjadi ciptaan yang lain, maka maha suci Allah yang telah memperbaiki semua ciptaan-Nya. “ Qs Al - Mukminun (23) :14. Sedangkan keduanya merujuk dari Qs Al -A’raf (7) : 54.
 
[10] Muslikh  Abdul  Rahman, ‘Umdat  al-Salik  fi  Khair al-Masalik  ( Purwerejo ) :  Pondok Pesantren Benjan, t.th. h. 43. Zamroji Saerozi, Al-Tadzkirat al-Thariqatain al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Jombang : tp.,t.th , h. 3

[11] Ahmad Faruqi al-Shirhindi adalah seorang mursyid Tarekat Naqsyabandiyah di India (w. 1624 M). Tarekat Naqsyabandiyah yang berada di bawah kemursyidannya kemudian disebut dengan Naqsyabandiyah Mujaddiyah. Baca Martin Van Bruinnesen, Tarekat Naqsyabandiyah diIndonesia , Bandung : Mizan, 1995 , h. 55. Mir Valiudin, Contemplative Disciplines in Sufism diterjemahkan oleh MS. Nasrullah dengan judul  Dzikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf , Jakarta : Pustaka Hidayat, 1996 ,h. 140.

[12] Ibid .,h. 141. Tentang beberapa latha’if  nenurut beberap sufi dapat di baca pada Shigeru Kamada, A. Studi of Term Sirr (Secrets) in Sufi Lathaif Theories, diterjemaahkan oleh MS. Nasrullah dengan judul “ Telaah Istilah Sirr (Rahasia)-dalam teori-teori lathaif Sufi, dalam al-Hikmah: Jurnal Studi-Studi Islam, Bandung : Yayasan Mutahhari, Vol VI/1995, h. 57-77

[13] M. Amin al – Kurdi, Tanwir,  h. 408

[14] Wawancara Mendalam, KH.Moh.Abdul Gaos Saefullah al-Maslul. Wakil talqin,  Tasikmalaya,  Juli 2006. Amin al- kurdi, Ibid., Mutawali al – Sya’rani, Nihayat al–A’lam, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Farudin dengan judul Rahasia Allah di Balik Hakikat Alam Semesta, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), h. 28
[15] M. Amin al – Kurdi, Tanwir., h. 408

[16] Pendidikan dan Pelatihan jiwa ini juga biasa disebut dengan Tazkiyat al –nafsi atau tashfiyat al-qalbi (membersihkan hati). Abd. Barro’ Sa’ad ibn Muhammad al–Takshisi, Tazkiyat al–Nafsi, diterjemahkan oleh Muqimudin Sholeh dengan judul Tazkiyat al-nafs , (Solo:CV.Pustaka Mantiq, 1996), h.27

[17] Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa, perbedaan antara ruh dan nafs hanya
menyangkut sifat-sifatnya bukan zatnya, Syamsudin Abi Abdillah Ibn Qayyim al- Jauziyah, Al-Ruh fi al -Kalam ala Arwah al- Amwat wa al-Ahya’, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 296.

[18] Nama-nama jiwa ini di berikan berdasarkan sifat-sifatnya, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulũm al-Din  jilid III, (Kairo:Mustafa al-Bab al-Halabi,1333 H), h. 4.

[19] Bertempat latifat yang bersifat immaterial ke dalam badan-badan jasmani manusia adalah sepenuhnya karena “kuasa” Allah. Allah menciptakan “kendaraan” media bereksistensi bagi ruh dalam diri manusia berupa “ruh kimiawi”  atau biolistrik yang oleh al- Dahlawi disebut dengan Nasamah dan ia bersifat  barzakhiyah, Syekh Waliyullah Abd. Rahim al- Dahlawi, Hujjat Allah al- Baligah, Jilid I , t.d., h. 38-40.  
[20] Ketujuh macam dan tingkatan jiwa ini merupakan obyek pembinaan dan pendidikan spiritual dalam Tareqat Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah, dan sekaligus merupakan gradual dalam sistem tarbiyat al-zikri, yang dilakukan secara mutaaqqiyan atau sistem gradual (berjenjang).

[21] Mir Valiuddin,  Contemplative,   h. 37

[22] Ibid, h. 48-49

[23] Ibid, h. 38
[24] Ibid, h. 62

[25] Ibid, h. 38

[26] Yahya Jaya, Spiritualisasi,  h. 168

[27] Ibid, h. 168

[28]  Mir Valiudin, Contemplative, h. 45
[29] Di dalam buku-buku tarekat sendiri biasanya disebutlan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui hal ikhwal jiwa, sifat-sifatnya. Mana yang jelek (madzmumah) untuk dihindari dan mana yang baik untuk dikerjakan. Baca Muslikh Abd. Rahman, al-Futuhat al-Rabbaniyah fi Thariq al-Qadariyat wa Naqsyabandiyah, (Semarang: Toha Putera, 1994), h. 4

[30] Tim Penterjemah, Al-Quran, h. 1065

[31] Kimiya’ al-sa’adah dijadikan judul buku oleh Imam al-Ghazali dengan pengertian prinsip-prinsip alamiah yang berlaku pada jiwa. Baca Abu Hamid Muhammad al- Ghazali, Kimiya’ al-sa’adah dicetak bersama al-Munqid min al-dlalal,  h. 104-133
[32] Titus  Burckhardt,  An  Intrudaction  to  Sufi  Doktrin diterjemahkan oleh Azyumardi
 Azra dengan judul MengenalAjaran Kaum Sufi, (Jakarta: Dunia Pustaka, 1984), h. 122-123

[33] Pemahaman terhadap jiwa yang demikian ini sejalan dengan filsafat materialisme dalam pendidikan, yaitu filsafat yang berpandangan bahwa jiwa dapat turun kedudukannya sebagaimana benda-benda material. Di dalam jiwa terdapat kekuatan ekspretif yang bersifat alamiyah seperti panas, dingin, kebasahan dan kekeringan. Serta ada juga keadaan yang dapat membentuk fungsi belerang dan air raksa dalam jiwa. Semangat yang menggebu dalam jiwa berkaitan dengan kutub aktif yang sama dengan belerang, sedangkan semangat bertentangan dan semangat peralatan yang “basah” berhubungan dengan kutub pasif yang disebut air raksa dalam kimia. Proses pembentukan jiwa Riyadlat al-nafs dengan analogi proses kimiawi dapat dibaca dalam, Titus Burckhardt, An Introduction, h. 122-126

[34] Takhalli adalah proses pembersihan, Tahalli proses penghiasan dan Tajjali merupakan tahapan sebagai hasil dari proses tersebut. Tajjali adalah penampakan Tuhan dalam hati seorang hamba yang telah cemerlang karena proses takhalli dan tahalli. Penjelasan KH. Zezen ZA, wawancara Tasikmalaya, Juni 2006. Dapat pula dilihat dalam Mustafa Zuhri., Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 74-89. Ketiga tahapan dalam mencapai tajalliyat Allah atau  Ma’rifat Allah tersebut ada kesamaannya dengan tradisi gnotisme, pada umumnya, yaitu purgative, contemplative. Baca: Simuh; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistis Jawa, (Yogyakarta : Bintang Budaya, 1995), h. 40-43

[35] . Wawancara, H. Suhrowardi, M.Ag, Dosen IAILM Suryalaya, Tasikmalaya,    Juni 2006
[36] Dalam proses takhalliyat amalan lebih ditekankan pada aspek akhlaq dan menjaga kesucian lahir dan bathin, yang menurut metode suluknya al-Hakim al-Tirmizi terdiri dari tiga akhlaq utama, yaitu: kebenaran anggota tubuh, keadilan hati, dan kejujuran akal. Baca dalam al-Jayashi M. Ibrahim, al-Hakim al-Tirmizi Muhammad  Ibn Ali al-Tirmizi, Dirasat fi Atsarihi wa afkarihi, Kairo: Dar al- Nahdat al-Arabiyah, t.th., h. 325,  Mustafa Zahri, Kunci, h. 74-81

[37] Analogi  yang  lain  untuk  penempaan  jiwa  adalah  dimensi   tazkiyat al-nafs,   yangmenggambarkan proses takhalliyat sebagai pembersihan jiwa dan proses  tahalliyat sebagai pengobatannya. Walaupun tujuan akhir dari tazkiyat al-nafs dalam arti umum berbeda dengan psiokterapi kaum sufi, tetapi keduanya memiliki proses yang searah dan obyek yang sama. Baca Hanna Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta : Insan al-Kamil, Pustaka Pelajar, 1995), h. 130-131.

[38] Prinsip interiorisasi jiwa dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, menggambarkan bahwa semakin ke dalam kesadaran jiwa akan suci bersih, dan cemerlang untuk dapat memantulkan hakikat segala sesautu  (lihat gambar). Al Ghazali menggambarkan seperti cermin, sehingga semakin bersih cermin hati seseorang akan semakin jelas gambar yang tampak di dalamnya bahkan apa yang ada dalam lauh mahfuz pun akan tampak di dalam hati ini. Lihat al-Ghazali al-Kimiya’,  h. 124
.
[39] Itulah  sebabnya  sehingga orang awam pun banyak yang menggapai kehidupan kesufiandengan melalui tarekat. dalam tarekat yang diajarkan langsung praktek takhalliyat yang berupa dzikir. Jiwanya lebih mudah. Dan dzikir ini harus diterima secara mutalaqqin. Sahibudin, Metode mempelajari Ilmu Tasawuf Menurut Ulama Sufi, (Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 37.
[40] Lima hal ini adalah obatnya hati yang sangat utama. Abu Bakar al-Makky, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’, (Surabaya : Sahabat Ilmu, t.th). h. 49-51

[41] H.R. Muslim Abu Husain ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 124

[42] HR.Abu Daud. Ibid

[43] Jalaluddin Abd. Rahman al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, Surabaya: Dar al-Nasyr al-Mishriyyah, t.th. h. 150

[44] Istilah ini merujuk pada firman Allah QS. Yusuf (12): 53 yang artinya : “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karenasesungguhnya nafsu itu selalu menyruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

[45] M. Amin al-Kurdi, Tanwir,  h. 409. Karena jiwa ini adalah kesadaran ruhaniyah yang ada dalam fisik manusia, maka ia cenderung berpandangan dan tertarik ke alam yang lebih rendah, yaitu alam al-syahadah (alam realitas yang tampak), begitu juga seterusnya ia mempengaruhi kecenderungan dan  sudut pandang jiwa-jiwa di atasnya

[46] Zamroji Saerozi, Tazkirat,  h. 46

[47] Tiga   potensi   dasar   nafs   ini   adalah  ghadlab  (emosi), syahwat (keinginan), dan ilm (pengetahuan).

[48] Ketujuh karakter itu merupakan gejala dari nafsu amarah.Lihat: Zamroji Saerozi, h.45-46
.
[49] HR. Thabrani dalam kitab Ausat, lihat Jalalludin Abd. Rahman al-Suyutiy, Jami’, h. 13
[50] Nama ini diambil dari term al-Quran. Lihat QS. AL-Qiyamah (75): 2

[51] Karena    keadaan    yang    senantiasa    berbolak-balik   itu,  maka  pusat  jiwa  ini disebut
dengan al-qalb (yang berbolak-balik), antara menurut hawa nafsu atau menurut akal budi. Menurut al-Ghazali, manusia memiliki dua kesadaran poko, yaitu: akal budi dan nafsu syahwat. Maka barang siapa yang memenangkan nafsu syahwatnya atas akal budinya ia lebih hina dari binatang, dan barang siapa yang memenangkan akal budinya dari nafsu syahwatny maka ia akan lebih mula dari para malaikat. Abu Hamid al-Ghazali, Mukasyafa al-Qutlub al-Muqarib ila Hadrat Ghuyub fi ‘Ilm Tasawuf, Mesir: Abd. Hamid Hanafi , t.th., h. 16

[52] M. Amin al-Kurdi, Tanwir.,  h. 409

[53] Jalaludin (Syekh), Sinar Keemasan jilid II, (Ujung Pandang : PPTI, 1987), h. 181. Zamroji Saeroji, , al-Tazkirat, h. 31, 38

[54] Zamroji Saeroji, al-Tazkirat,   h. 38

[55] Jalaludin, Sinar, h. 181. Dari pemahaman tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semua lathifah yang bersatu dalam tubuh manusia yang membentuk menjadi jiwa atau al-nafs itu mengandung unsur negatif dan positif, yang menurut bahasa al-Quran disebut dengan fujur dan taqwa, maka barang siapa yang mau membersihkannya akan muncullah taqwanya (+), dan barang siapa yang mengotorinya, maka yang akan dominan dalah fujurnya (-) dan pelakunya akan celaka. Lihat QS. Syams (91): 7-10

[56] Istilah nama jiwa ini merujuk pada firman Allah QS. Al-Syams (91) : 8

[57] M. Amin al-Kurdi, Tanwir., h. 40

[58] Baca Keterangan tentang latifat al-qalbi
[59] Zamroji Saerozi, Tazkirat,  h. 40-41. Bandingkan dengan Isma’il Ibn Sayid Muhammad Sa’id al-Qadri, Al-Fuyudat,, h. 34

[60] Jalaludin, Sinar,  h. 8

[61] Istilah nama jiwa ini merujuk pada Alquran. Lihat QS. Al-Fajr (89): 27

[62] M. Amin al-Kurdi, Tanwir., h. 409

[63] Baca Keterangan tentang latifat al-sirri
[64] Zamroji Saeroji, Tazkirat,  h. 40-41

[65] Jalaludin, Sinar,  h. 9

[66] Istilah ini merujuk pada Alquran. Lihat  QS. Al-Fajr (89): 28

[67] M.  Amin  al-Kurdi,  Tanwir,   QS. Al-Fajr   (89)  : 28.  Dari  sudut  pandang teori strata kelembutan  jiwa,  dalam  arti  latifat   jiwa mardliyah  ini  lebih tinggi  dari  pada  jiwa  radliah, tetapi dalam artian praktis jiwa radiyah lebih tinggi dua tingkat diatasnya.
[68] Jalaludin, Sinar, h. 81

[69] Zamroji Saeroji,Tazkirat, h. 42-43. Isma’il Ibn Sayid Muhammad, Al-Fuyudat., h.18

[70] Jalaludin, Sinar, h. 9-10

[71] Istilah ini merujuk pada Alquran. Lihat QS. Al-Fajr (89): 28

[72] Ibid., h. 182. Pada tahap ini salik mencapai warid (penghayatan keagamaan) pada tingkatan wilayah (kewaliyan). Lihat J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam. London : Oxford University Press, 1973, h. 152. Isma’il Ibn Muhammad Sa’id al-Qadiri, Al-Fuyudat,, h. 37
[73] Zamroji Saerozi, Tazkirat, h. 44-45

[74] Jalaludin, Sinar,, Jilid II, h. 11

[75] Searah dengan tahapan-tahapan dalam suluk (sirat al ruhaniyah), perjalanan spiritual Tarekat Qadiriyah yang meliputi  tujuh tahapan-tahapan, yaitu ila Allah (kepada Allah), li Allah (untuk Allah), ‘ila Allah atau atas nama Allah, ma’a Allah, fi Allah di dalam Allah, Min Allah yaitu dari Allah dan bi Allah, demi Allah. Maka pada tingkatan nafsu radliyah ini (tingkatan ketujuh), posisi jiwa telah mencapai thapan billah (demi Allah). Pada tahapan ini seorang salik telah berjalan bersama makhluk atau dalam masyarakat, demi menegakkan syari’at dan mengharap rida Allah. Lihat Isma’il Ibn Sayyid Muhammad, Al-Fuyudat, h.. 37 , bandingkan dengan Spencer Trimingham, The Sufi, h. 152
[76] Zamroji Saeroji, Tazkirat, h. 47-49. Isma’il Ibn Muhammad, Al-Fuyudat., h. 38

[77] Lihat  43 Abu Abdillah, hal 33

1 komentar:

  1. barakallah,. terima kasih mudah2an jadi ilmu yang bermanfaat,.. penulis diberikan keberkahan dan keselamatan, tambah ilmu dan rezeki nya,. aamiin..

    BalasHapus